Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keliru, Menjadikan Finlandia sebagai Kiblat Pendidikan

Indonesia dalam berbagai seminar selalu menjadikan Finlandia sebagai contoh negara dengan sistem pendidikan terbaik. Tak banyak yang tahu, rangking PISA Finlandia terus menurun meskipun tidak pernah melewati sepuluh besar ke bawah.

Saat ini, untuk Eropa, rangking PISA tertinggi diduduki Estonia. Kita jarang mendengar para pakar pendidikan memuji-muji sistem pendidikan Estonia. Tahun 2018, Rangking PISA Estonia diposisi tiga setelah China dan Singapura.

Saya justru merekomendasikan Indonesia mencontoh Vietnam. Vietnam berjaya di PISA 2012, 2015, bahkan 2018. Vietnam secara geografis dekat dengan Indonesia. Statusnya negara berkembang dan masalah-masalah Vietnam mirip dengan Indonesia.

Korupsi yang masih tinggi. APBN yang 20 persen dialokasikan untuk pendidikan. Infrastruktur sekolah belum merata di kota dan desa memiliki banyak kemiripin dengan Indonesia. Namun anehnya, vietnam yang baru mulai membangun negerinya tahun 1975, seusai dihantam perang berkepanjangan dari tahun 1955, mampu meninggalkan Indonesia di rangking PISA.

Indonesia sejak tahun 2000 mengikuti tes PISA. Sejak itu sampai tahun 2022 posisi Indonesia betah bertengger di peringakat 10 terbawah.

Vietnam yang pertama kali mengikuti tes PISA tahun 2012 langsung melejit di posisi atas, bahkan mengalahkan negara-negara maju anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

Mengapa Tak Perlu Berkiblat ke Finlandia

Ada sejumlah alasan mengapa kita tidak perlu berkiblat ke Finlandia dalam masalah pendidikan.

Pertama, sejarah dan budaya Finladia begitu berbeda dengan Indonesia. Tata penyelenggaraan pendidikan Finlandia sudah didukung semua aspek yang membuat pendidikan berhasil dikelola dengan baik.

Finlandia, sebagaimana negara-negara Barat yang sudah maju, mengajarkan praktik baik dalam bersikap sejak dini. Misalnya mengantre dan menghargai makanan. Ketika pulang ke rumah dan ke masyarakat, hal-hal itulah yang disaksikan para siswa. Orang-orang mengantre dengan sabar dan teratur.

Begitu juga ketika membuang sampah, siswa menyaksikan semua orang membuang sampah pada tempatnya. Hal itu adalah budaya di negara itu.

Tidak seperti di Indonesia, di sekolah diajarkan untuk membuang sampah di tempat sampah tetapi di jalanan sampah terserak di mana-mana. Artinya apa? Sistem penataan pembuangan sampah dan kesadaran masyarakat masih rendah.

Di Finladia sistem pengelolan kota dan prilaku disiplin mendukung pembelajaran. Memang tidak salah jika dikatakan bahwa masyarakat yang mapan secara ekonomi dan infrastruktur yang maju mendukung pendidikan yang berkualitas.

Kedua, pendidikan di Finlandia adalah pendidikan untuk semua (education for all). Semua kalangan, baik kaya maupun miskin atau kaum disabiltas mendapatkan kesetaraan dan akses yang sama serta semua bisa merasakan pendidikan yang bagus dan bermutu.

Mari menoleh ke negara kita. Orang-orang kaya akan masuk di sekolah-sekolah swasta yang mahal dan sekolah-sekolah unggulan. Anak-anak pinggir kota dan desa serta orang miskin akan memilih sekolah yang dekat-dekat dan setara dengan kemampuannya.

Tidak jarang, sekolah di desa-desa yang terpencil hanya memiliki satu guru, satu kelas, satu papan tulis dan semua serba satu. Guru lebih sering tidak masuk kelas.

Di Finladia, tidak ada anak yang tidak bisa mengakses internet. Di negara kita cerita sedih berhamburan ketika pandemi dan pelajaran daring berlangsung. 

Ketiga, guru-guru di Finladia semua bergelar master, tamatan terbaik dari sekolah-sekolah menengah. Sistem kuliah keguruannya pun terbaik.

Bagaimana kita? semua orang bisa masuk sekolah keguruan. Semua universitas bisa mendirikan LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Bahkan, universitas dan sekolah tinggi yang baru dibuka pun langsung membuka prodi-prodi keguruan.

Hasilnya, mutu sekolah guru adalah mutu gelondongan. Tidak terpantau dan tidak bisa dipantau. Belum lagi ada sistem rekrutmen guru lewat jalur PPG (Pendidikan Profesi Guru) kuliah dua tahun. Semua tamatan yang bukan sekolah keguruan, boleh daftar untuk jadi guru setelah digembeleng dua tahun lewat program PPG.

Lalu untuk apa sekolah-sekolah keguruan? Tamatan-tamatan sekolah guru, sarjana pendidikan yang sudah kuliah lima tahun bersaing dengan mereka yang kuliah di jurusan umum yang bukan sekolah keguruan.

Pertanyaanya, untuk apa capai-capau kuliah di sekolah keguruan, kalau pada akhirnya yang kuliah di jurusan umum yang tidak berlatar belakang sekolah keguruan bisa mendaftar lewat PPG prajabatan?

Pengangakatan satu juta guru, tidak ubahnya proyek padat karya hanya memburu angka satu juta tanpa melihat kualitas. Lantas, mengapa membanding-bandingkan dengan Finlandia?

Keempat, APBN Finlandia untuk pendidikan sangat tinggi. Untuk sekolah dasar tahun 2010 menyerap anggaran 35,7 persen, di tahun 2016 menjadi 38 persen dari anggaran pendidikan nasional. Itu baru untuk pendidikan dasar.

Di Indonesia, anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN itu menyebar ke kementrian-kementrian yang memiliki sekolah-sekolah dinas. Anggaran itu juga untuk gaji guru dan dosen. Jadi, anggaran itu belum seutuhnya untuk pengembangan sektor pendidikan secara murni. 

Ada satu kota di Indonesia yang mencontoh Finlandia dengan menghilangkan pekerjaan rumah untuk siswa di sekolah dasar dan menengah. Ini tentu salah kaprah. Finlandia masih memberikan pekerjaan rumah meskipun dalam jumlah yang sedikit.

Orang tua di Finlandia sangat terlibat dengan pendidikan anak-anaknya sehingga mereka berperan di rumah . Orang tua juga tahu jadwal pelajaran anaknya sampai dengan jam-jam pelajaran dan detail kegiatan di sekolah.

Sekolah-sekolah Finlandia juga menyiapkan makan gratis selama sekolah. Karena itu, Indonesia sangat keliru jika mencontoh Finlandia.

Ada banyak hal-hal mendasar yang harus dibereskan terlebih dahulu. Pertama, infrastruktur yang jomplang antara kota dan desa, pusat dan daerah, Jawa dan luar jawa.

Kedua, distribusi guru yang belum merata. Guru-guru malas dan enggan ditempatkan di daerah terpencil. Guru di kota membludak, di desa paceklik guru.

Ketiga, penataan sekolah-sekolah guru, harus ada standar kampus yang bisa menyelenggarakan sekolah guru.

Keempat, pengangkatan guru jalur PPG kuliah dua tahun perlu dievaluasi lagi. Mereka tidak memiliki ilmu dasar keguruan dan terkadang menutup kesempatan mahasiswa-mahasiwa dari sekolah guru yang lebih paham tentang keguruan.

Berguru ke Vietnam

Seperti yang saya uraikan di awal, lebih tepat jika kita berkiblat ke Vietnam. Negara itu memiliki kondisi yang mirip dengan Indonesia dalam berbagai hal. Namun, mereka bisa cemerlang di tes bergengsi PISA.

Saatnya menjadikan Vietnam sebagai rujukan untuk keluar dari kutukan sepuluh rengking PISA terbawah.

Tentu saja menggagumi Finlandia sah-sah saja. Namun membandingkan Finlandia dengan Indonesia, bukan perbandingan yang adil karena tidak apple to apple.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/10/170104371/keliru-menjadikan-finlandia-sebagai-kiblat-pendidikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke