Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada Apa dengan Uang Kuliah Tunggal?

Kasus ini menjadi viral setelah kisah getir tersebut dibagikan teman yang juga kakak angkatannya di media sosial pada 11 Januari 2023 lalu, hampir setahun pascakematian mahasiswa tersebut.

Jika benar faktanya seperti itu, kejadian ini tentu sangat mengusik kesadaran dan rasa keadilan kemanusiaan kita.

Karena publik saat ini masih hangat dengan kasus korupsi penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan oleh sejumlah pejabat di salah satu PTN.

Sebuah kasus korupsi yang bukan karena desakan kebutuhan, tetapi karena kerakusan, atau “corruption by greed”, kata Prof. Suyanto, pemerhati pendidikan (Kompas.com, 23/08/2022) .

Sangat masuk akal, jika kemudian publik kembali memprotes dan menggugat PTN yang dipersepsi “tak berpihak pada masyarakat ekonomi lemah”.

Publik, apalagi bagi mereka yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT) tentu bukan hal baru.

Walaupun mungkin belum memahami betul dinamika yang terjadi pada UKT, yang hingga saat ini telah diterbitkan lima kebijakan pemerintah dalam bentuk Peraturan/Keputusan Menteri (Kepmen/Permen) tetang UKT sejak 2013, yaitu Permendikbud 55/2013 dan terakhir diubah dengan Kepmenristekdikti 91/2018.

UKT adalah “sebagian” dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung oleh atau dibebankan kepada setiap mahasiswa dari keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di PTN.

Program UKT ini sebenarnya penjabaran dari subsidi silang dalam bidang pendidikan.

Pemerintah menetapkan besaran UKT per prodi setiap PTN/PTN-BH dalam beberapa kelompok (antara 3—8 kelompok) atas usulan masing-masing PTN berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak lain yang membiayai, dihitung dari penghasilan kotor dan tambahan mereka.

Dari Kepmen/Permen yang ada, besaran UKT yang dibebankan kepada mahasiswa rerata antara kisaran 5 persen hingga 80 persen dari BKT, kecuali untuk prodi-prodi kedokteran pada beberapa PT ada UKT yang di atas BKT.

Khusus bagi mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi/KIP Kuliah UKT ditanggung oleh pemerintah (kementerian).

Pemerintah melarang PTN untuk memungut biaya di luar UKT, seperti uang pangkal dan/atau pungutan lain dari mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana (jalur SNMPTN/SNBP, SBMPTN/UTBK SNBT) untuk kepentingan pelayanan pembelajaran secara langsung.

Kecuali bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa kerja sama, dan/atau mahasiswa seleksi jalur mandiri, dengan tetap memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Jika kita cermati, niatan pemerintah menerapkan kebijakan UKT adalah untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh pendidikan tinggi bermutu dan relevan dengan kepentingan dan kemampuannya.

Kebijakan UKT juga untuk meningkatkan tanggungjawab negara dalam menyediakan pelayanan pendidikan tinggi, dengan menghapus uang pangkal yang dirasa memberatkan mahasiswa sebagai pengguna pelayanan pendidikan.

Dengan kata lain, tujuan kebijakan UKT adalah untuk lebih meringankan dan melepaskan mahasiswa dari kewajiban membayar biaya-biaya lain yang rumit seperti Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), praktikum, bahkan biaya ujian hingga biaya magang.

Besaran UKT juga ditetapkan per semester, tidak niscaya atau permanen berlaku selama masa studi mahasiswa. PT bisa melakukan hitung-ulang besaran UKT berdasarkan dinamika kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak lain yang membiayai.

Jika pada suatu semester besaran UKT tidak sesuai dengan kemampuan mereka, dan/atau ada perubahan data kemampuan mereka karena faktor atau alasan tertentu yang bisa dipertanggungjawabkan (misalnya terdampak bencana, covid-19), maka pimpinan PTN dapat memberikan keringanan UKT dan/atau melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa (Pasal 6 Ayat (1) Permenristekdikti 39/2016; jo Pasal 5 Ayat (1) Permenristkdikti 39/2017).

Jika ketentuan ini efektif diterapkan oleh PTN, maka kasus yang terjadi pada mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut—jika memang benar faktanya seperti itu—tidak perlu terjadi.

Dengan catatan mahasiswa/orang tua/pihak lain yang membiayai mengajukan permohonan atau laporan secara tertulis kepada pihak PTN disertai dengan dokumen/bukti yang valid. Tergantung pada bagaimana mekanisme yang berlaku pada setiap PTN.

Ada baiknya juga, jika PTN memiliki kebijakan “memberikan keringanan” atau “membebaskan” UKT jika mahasiswa tidak melakukan registrasi pada semester tertentu dan/atau cuti kuliah.

Mengapa? Karena mahasiswa pada saat itu tidak memperoleh layanan operasional (akademik dan non-akademik) dari kampus.

Kita berharap, kasus UKT ini tidak semakin memperkuat persepsi publik bahwa PT masih menjadi “menara gading” (ivory tower) yang tetap menjaga jarak dengan realitas kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat lemah dan tak mampu secara ekonomi.

Semoga kasus UKT yang terjadi pada mahasiswa UNY merupakan yang terakhir terjadi pada PTN. Jika pun terjadi lagi, PTN harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikannya.

PTN harus hadir mewakili Negara ketika ada warganya yang membutuhkan keringanan, pembebasan, dan/atau bantuan biaya untuk memperoleh layanan pendidikan, yang sejatinya menjadi haknya sebagai warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi.

Apalagi PT (PTN dan PTS) hadir dengan mengemban amanah negara untuk menunaikan “peran strategis” dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tentu saja dalam penyelenggaraannya tetap harus dilandasi prinsip “keterjangkauan” dan “pemerataan yang berkeadilan” bagi masyarakat (termasuk mahasiswa) dari lapisan teratas hingga terbawah untuk memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan dan kemampuannya.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/01/20/054113571/ada-apa-dengan-uang-kuliah-tunggal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke