Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Mutu Lulusan Perguruan Tinggi Saat Ini

WAKTU yang tepat bagi pengelola perguruan tinggi untuk mengetahui tingkat mutu lulusannya adalah dengan mendengarkan langsung testimoni dari para pemangku kepentingan terutama dunia usaha.

Melakukan pertemuan tanpa maksud menghakimi atau mencari siapa yang salah, tetapi demi perbaikan mutu lulusan untuk kepentingan bersama.

Perusahaan membutuhkan calon karyawan yang memenuhi kualifikasi tertentu. Perguruan tinggi wajib membantu menyalurkan lulusannya ke pengguna agar memperoleh pekerjaan yang pantas dan sesuai.

Kesenjangan yang terjadi mengakibatkan lulusan tidak sepenuhnya dapat diterima perusahaan.

Ketika banyak lulusan mengeluh susah memperoleh pekerjaan yang layak, perusahaan juga mengeluh kesulitan memperoleh calon karyawan yang memenuhi standar minimal yang dibutuhkan.

Menurut seorang kepala divisi sumber daya manusia sebuah perusahaan manufaktur yang diundang hadir dalam acara terkait Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), lulusan dalam dua tahun terakhir, memiliki kekurangan dan keunggulan.

Paling mudah memang menilai kekurangan. Setidaknya terdapat lima kekurangan yang menonjol.

Pertama, sejumlah lulusan dianggap hanya memahami “kulit-kulit permukaan” dari suatu bidang yang ditekuni. Ketika dicoba untuk mengelaborasi lebih lanjut justru kesulitan sendiri.

Pemahaman yang dangkal memaksa perusahaan untuk memberikan “pendidikan” lebih lanjut.

Sekarang tidak sedikit perusahaan yang memiliki bagian khusus seperti layaknya lembaga pendidikan yang bertugas mengajarkan materi khusus sesuai bidang industri kepada para karyawannya.

Kedua, mudah menyerah ketika mulai menemukan tantangan. Banyak lulusan yang masih mencoba-coba. Ketika merasa sulit dengan cepat memutuskan untuk mundur (resign). Atau ketika pekerjaan yang ditekuni tidak sesuai dengan ekspektasi, malah kabur.

Ketiga, masih perlu meningkatkan kemampuan interaksi sosial terutama ketika mempresentasikan ide, pemikiran, dan gagasan.

Dua tahun pembelajaran secara daring ternyata berdampak terhadap gaya komunikasi lulusan masa kini. Saat ini mayoritas perusahaan telah menerapkan kerja seperti biasa, yaitu di kantor, tidak lagi work from home (WFH).

Sebagian lulusan yang telah terbiasa dengan gaya fleksibel bekerja dan belajar di mana saja, tampaknya harus kembali beradaptasi dengan gaya konvensional.

Keempat, sebagian lulusan masih kurang serius untuk menjadi profesional. Masa kerja mereka menjadi singkat lalu memutuskan untuk berhenti bekerja dan membuka usaha.

Bagi perusahaan yang telah berinvestasi untuk mendidik karyawan, kondisi ini bukan situasi yang menguntungkan.

Bagi sebagian perguruan tinggi, mungkin bisa menyebut sebagai buah keberhasilan penanaman jiwa kewirausahaan di kalangan muda.

Kelima, semangat juang untuk mencapai target masih perlu ditingkatkan. Sebagian menyebut mereka bermental “lembek”. Mudah menyerah.

Tampaknya kebiasaan serba instan dan enggan berproses telah menjangkiti sebagian lulusan.

Kompleksitas pendidikan

Mengurai kekurangan saja rasanya juga tidak adil. Masih ada keunggulan yang berpotensi dikembangkan jika memperoleh perlakuan yang tepat, seperti ide-ide mereka yang cukup inovatif dan layak dijalankan.

Tidak bisa juga dianggap remeh kemampuan digital lulusan masa kini yang barangkali di atas rata-rata lulusan dari generasi masa lalu.

Memang harus disadari, mencetak lulusan yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha tidak seperti memproduksi barang dan jasa.

Kondisi ini tidak lepas dari masih carut marutnya model pendidikan di Indonesia yang kerap mencampuradukkan antara pendidikan berorientasi akademik dengan praktik (vokasi).

Belum lagi masih kuatnya pandangan masyarakat tentang lulusan sarjana ketimbang diploma, yang justru lebih siap bekerja sesuai kebutuhan industri. Sementara lulusan sarjana yang kuat di konsep dan teori, mungkin lebih siap untuk dilatih.

Sebagian perguruan tinggi mencoba berkompromi dengan “mengawinkan” pendidikan sarjana dan vokasi.

Akibatnya pendidikan sarjana jadi mirip dengan diploma, yaitu kental dengan praktik. Lulusan sarjana dan diploma jadi sulit dibedakan.

Belum lagi program MBKM yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil 60 SKS (dari 144-148 SKS pendidikan sarjana) di luar kampus atau program studi, menambah kompleksitas yang terjadi. Mata kuliah yang sesuai kompetensi khusus program studi makin kecil proporsinya.

Kesenjangan antara dunia akademis dan praktis tampaknya masih akan terus terjadi. Dan selama itu pula lulusan perguruan tinggi selalu dipertanyakan kemampuannya untuk bekerja sesuai dengan bidang yang ditekuni.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://www.kompas.com/edu/read/2022/12/21/112939071/menyoal-mutu-lulusan-perguruan-tinggi-saat-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke