Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Dosen Tak Tertarik Menulis di Media Massa?

Misalnya forum kuliah, buku, jurnal ilmiah, pertemuan ilmiah (seminar/konferensi), prosiding, media massa, majalah dan lain.

Dari beragam media atau forum tersebut paling banyak dan intensif melalui kuliah, jurnal, seminar, atau buku.

Sangat jarang dosen mempublikasikan hasil pemikiran dan/atau penelitiannya melalui media massa.

Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan. Tetapi yang paling utama adalah alasan “prestasi dan prestise”.

Bagi sebagian (besar) dosen, menulis di media massa masih dipandang BUKAN sebagai sebuah prestasi kepakaran yang memberikan harapan akademik secara layak, memadai, dan menjanjikan.

Karena bukan sebuah prestasi, menulis di media massa dipandang tidak memiliki civil effect yang menghadirkan kebanggaan, baik terhadap diri sendiri, komunitas dosen, maupun terhadap institusinya.

Sangat berbeda jika seorang bisa mempublikasikan artikel di jurnal/prosiding ilmiah nasional terakreditasi, bahkan internasional bereputasi.

Apalagi bisa menembus Scopus Q1, Q2, dst., atau WoS dengan index dan impact factor yang tinggi. Decak kagum, dan acungan jempol dari kolega, komunitas, dan institusinya pun akan diterima.

Publikasi di jurnal atau prosiding seminar adalah paduan simbolis antara “memelihara tradisi akademik” (maintain academic tradition) dan “unjuk prestasi dan kebanggan akademik” (show academic achievement and pride).

Karena itu, tidak heran jika para dosen “berlomba-lomba” untuk mempublikasikan karya-karya ilmiahnya ke jurnal ilmiah dan/atau prosiding yang terakreditasi atau bereputasi daripada publikasi di media massa (Farisi, 2022).

Belum lagi insentif dan penghargaan yang akan diterima. Yang pasti, publikasi di jurnal terakreditasi atau bereputasi menjadi syarat bagi dosen yang akan mengajukan kenaikan jabatan fungsional Lektor kepala dan Profesor.

Juga merupakan tugas profesional dosen yang wajib ditunaikan sebagai Beban Kerja Dosen (BKD) setiap semester. Tak ada satupun klausul yang menyebut syarat publikasi di media massa.

Insentif berupa angka kredit (kum) untuk publikasi di jurnal nasional terakreditasi, jurnal/prosiding internasional bereputasi, atau dalam bentuk buku sangat fantastik, antara 10—40 kum. Sedangkan publikasi di media massa cukup dihargai 1 kum, dan 0.25 sks untuk BKD.

Insentif lain berupa biaya tambahan untuk publikasi di jurnal/prosiding/buku pun lumayan besar. Ada pada kisaran Rp 2.000.000 - Rp 65.000.000. Sedangkan publikasi di media massa sebesar Rp 2.000.000 (PMK 123/2021).

Belum lagi bantuan publikasi, insentif atau penghargaan yang mungkin disediakan oleh institusi.

Apalagi, namanya terpampang di selasar SINTA, lengkap dengan data metrics index Scopus, WoS, dan Google Scholar yang tinggi, pasti sangat membanggakan.

Sejak abad ke-20, indeks merupakan simbol prestasi dan prestise akademik atau scholarliness seorang dosen, yang parameternya menggunakan “scientometric approach”.

Motivasi instrinsik (prestasi dan prestise) dan ekstrinsik (insentif dan penghargaan) yang tidak berimbang inilah yang menjadi prima causa mengapa dosen tidak banyak dan tidak tertarik untuk menulis di media massa. Di samping faktor-faktor lain yang tak perlu dirunut di sini.

Bisa dimaklumi, jika topik yang kerap menjadi bahan perbincangan di kalangan komunitas dosen tidak lepas dari artikel jurnal, makalah seminar, prosiding dan semacamnya.

Sangat jarang (jika tidak mau dikatakan langka) dosen membincangkan artikel popular untuk media massa. Seorang dosen akan sangat bangga dan dianggap berprestasi, jika disebut sebagai “ahli jurnal”, “ahli seminar”, daripada “ahli media massa” atau “kolumnis”.

Semua fenomena ini merupakan persoalan klasik dan menjadi kritik paling keras dari publik kepada para dosen dan para pakar/ahli lainnya.

Bahkan, sosiolog Karl Mannheim dan Antonio Gramsci menuduh mereka sebagai pengkhianat, karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat yang berada di luar tembok kampus (Farisi, 2021).

Menulis di media massa (surat kabar, jurnalisme publik, majalah, bulletin, dsb) sejatinya memang bukan untuk alasan prestasi dan prestise. Tetapi lebih dilandasi oleh kemauan dan kesadaran untuk mengabdi kepada masyarakat.

Publikasi di media massa adalah “hilirisasi” hasil-hasil pemikiran/penelitian (Natsir, 2015), “difusi inovasi” produk keilmuan dan teknologi (Rogers, 1983), atau “membumikan sains” untuk kepentingan masyarakat (Farisi, 2022).

Secara filosofis, publikasi di media massa merupakan bagian dari tanggung jawab akademik, moral, dan sosial setiap dosen untuk mencerdaskan masyarakat, dari mana sesungguhnya para dosen berasal.

Kehadiran Dosen sangat ditunggu untuk mencerahkan masyarakat dan bersama-sama unsur lainnya membangun “masyarakat madani”.

Hal ini mustahil diwujudkan, jika dosen hidup terpisah dan mengasingkan diri dari keriuhan realitas masyarakat dengan segala dinamika dan masalah yang dihadapi.

Dosen tidak boleh lagi menjadi penghuni “Menara Gading” (Ivory Tower) perguruan tinggi yang tak peduli soal masyarakat.

Publikasi di media massa adalah salah satu pintu masuk untuk itu. Akses yang bisa dijangkau oleh media massa pun jauh lebih terbuka dan massif, bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dari yang elite hingga akar rumput.

Daripada publikasi jurnal atau seminar yang hanya menyasar kalangan terbatas pada komunitas tertentu.

Melalui publikasi media massa, dosen dengan kepakarannya bisa memberikan respons atas isu, masalah atau kebijakan yang penting, maslahat, dan viral; membentuk opini publik; membuat narasi-narasi tandingan; mengkritisi kebijakan atau program yang kurang merakyat; melakukan advokasi; dan/atau sebatas untuk sosialisasi program atau kebijakan tertentu.

Satu hal yang tak kalah penting, media massa adalah pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang mampu melakukan kontrol sosial terhadap setiap bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang oleh siapapun (orang atau institusi), sehingga roda demokrasi tetap menggelinding di rel yang benar dan sudah disepakati bersama.

Di era digitalisasi dan keterbukaan informasi atau “post-truth” saat ini, kontrol sosial media massa menjadi semakin penting dan krusial untuk membentuk opini publik, dan membuat narasi-narasi tandingan terhadap opini dan narasi menyesatkan di kanal-kanal media sosial.

Sebuah era yang oleh pakar diyakini telah “menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan” melalui konflik, kerusuhan, pembunuhan yang ditimbulkannya” (Maulana, 2021).

Ketidakhadiran dosen sebagai pakar/ahli/profesional akan dianggap publik sebagai pengabaian tugas dan menjadi sebab ketakpercayaan publik terhadap pakar.

Fenomena inilah yang kemudian dinarasikan oleh Tom Nichols (2017) sebagai “matinya kepakaran” (the death of expertise).

Untuk mewujudkan itu semua, dosen harus memiliki kesadaran “politik media massa”. Sebuah kesadaran diri dan tindakan nyata dosen untuk hadir menciptakan dan mengembangkan budaya partisipatif, dan politik aktif publik di ruang-ruang baca publik.

Sebuah politik yang dilandasi oleh kesadaran dan keikhlasan diri dosen untuk "turun gunung" dari singgasana "menara gading" dengan segala kenikmatan dan kemegahannya, untuk hadir di ruang-ruang media massa, dan memberikan suara-suara tandingan yang mencerahkan kepada publik di tengah kepungan narasi-narasi yang tidak mencerahkan, bahkan menimbulkan keresahan, dan konflik.

Seperti halnya publikasi di jurnal, prosiding atau buku, publikasi di media massa juga memiliki prinsip dan etika jurnalisme yang harus dipatuhi.

Selain idenya harus orisinil, otentik, dan memberikan perspektif yang “baru” (novelty), juga harus didukung oleh data dan fakta serta analisis yang kokoh.

Sikap “independensi” atau “cover both side” untuk menjaga ketidakberpihakan juga sangat penting. Jikapun harus berpihak, maka berpihaklah hanya, dan hanya kepada kebenaran dan kearifan intelektual.

Tulisan di media massa juga tidak boleh bersifat partisan, menjadi juru bicara, influenzer, apalagi buzzer dari kelompok kepentingan, organisasi sosial-politik tertentu.

Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik, menghindarkan diri dari melakukan pengkhianatan intelektual (intellectual betrayel), dan menjadi demarkasi antara dosen-intekektual dengan dosen-pembual.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/08/07/114956571/mengapa-dosen-tak-tertarik-menulis-di-media-massa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke