Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Kasus Bullying Terus Berulang? Ini Kata Akademisi UB

KOMPAS.com - Kasus bullying atau perundungan siswa SD di Tasikmalaya, Jawa Barat baru-baru ini mendapat sorotan.

Apalagi, korban bullying sempat sakit saat memikirkan bullying yang diterimanya hingga meninggal dunia.

Kasus seperti ini, tidak terjadi sekali dua kali. Beberapa kali, telah terjadi dan dalam waktu berdekatan. Mengapa kasus bullying terus-menerus terjadi berulang? 

Menanggapi hal ini, akademisi Universitas Brawijaya, Ari Pratiwi mengatakan masih ada celah dalam pengawasan anak antara orangtua dan sekolah.

Misalnya, saat jam istirahat di sekolah. Terkadang, guru tidak ada yang mengawasi saat istirahat berlangsung.

"Ketika jam istirahat, guru ikut istirahat sehingga menjadi kesempatan anak-anak bisa melakukan praktik bullying," kata dia.

Jam-jam kosong di sekolah, baik istirahat atau pergantian mata pelajaran memiliki jeda waktu yang cukup lama sehingga rawan dipersalahgunakan.

Kasus seperti ini, ia temui pada tahun 2015. Sehingga, Ari mengusulkan adanya piket guru untuk mengawasi para siswa.

Selain itu, bullying juga bergeser di media sosial. Ari mengatakan, ada sebuah penelitian jika bullying di media sosial berbanding lurus dengan bullying secara tradisional atau secara tatap muka.

"Secara paralel, bullying di medsos pasti di dunia nyata anak ini dibully. Berbeda jika di media sosial tidak saling mengenal, maka di dunia nyata pun tidak terkena bullying," tambahnya.

Karena perkembangan teknologi makin masif, sulitnya mengontrol konten yang diakses anak-anak maka sudah waktunya orangtua, pihak sekolah bisa membuat semacam edukasi bagaimana menggunakan medsos dengan baik.

Kemudian, kurangnya penanganan yang baik dari sekolah juga ikut menambah kasus bullying masih terus terjadi. 

Ketika kasus bullying terjadi, beberapa sekolah terkesan lepas tangan saat kasus bullying muncul. "Misalnya saat kasus dilakukan di luar sekolah, seolah sekolah lepas tangan. Padahal, sekolah itu bisa membantu mencegah kasus serupa," tambahnya.

Kasus yang kemudian tersorot media, seringkali diklarifikasi oleh sekolah seolah tidak ada masalah apapun. "Begitu kasus makin ter-blow up, barulah ada tindakan,"tambahnya lagi.

Cara mengetahui anak sebagai pelaku bullying

Untuk mengetahui anak menjadi korban bullying, orangtua harus peka. Misalnya, saat anak pulang enggan dipeluk, lesu, tidak mau makan, tidak bersemangat bisa jadi tanda-tanda anak ada masalah di sekolah.

"Deteksi emosi anak, sikap anak untuk mengetahui apakah ada yang tidak beres dari sikap anak sehari-hari," tambahnya.

Lalu, bagaimana cara mendeteksi anak sebagai pelaku bullying?

Ia mengatakan memang ada kasus orangtua itu tidak tahu anaknya pelaku bullying.

Bisa saja, anak di rumah berperilaku berbeda dengan saat di luar rumah. Sehingga, orangtua memang harus peka akan perubahan perilaku anak.

"Anak yang suka membully, bisanya agresif. Perilakunya menyimpang termasuk kenakalannya menyimpang," tambahnya.

Faktor yang membuat anak-anak bisa menjadi pelaku bullying, juga bisa muncul dari keluarga yang kurang harmonis.

"Penyimpangan perilaku pada anak seringkali disebabkan juga dari rumah. Sekarang banyak juga keluarga yang disfungsional, misal kekerasan dalam keluarga, tidak berfungsi sebagaimana keluarga," ujar Ari.

Apakah jika pelaku bullying diberi sanksi pindah sekolah atau dikeluarkan sudah tepat? 

Memindah atau mengeluarkan pelaku bullying dari satuan Pendidikan, masih menjadi pro kontra. Ia menyebut, dalam peraturan Kemendikbudristek bagi Perguruan Tinggi saja tidak serta merta pelaku dikeluarkan.

"Masih ada pemanggilan, pelakunya, konfirmasi, diusut, setelahnya ada SP, kemudian ada pendampingan bahkan pelaku pun didampingi karena diharapkan tidak mengulangi perbuatan di masa depan," Kata Ari.

Apalagi, jika pelaku perundungan adalah siswa SD, maka bisa muncul efek yang buruk. "Jika pelaku dipindah sekolahnya otomatis sekolah yang baru akan bertanya, mengapa pindah? Jika ketahuan karena pelaku bullying, maka akan berakhir buruk juga bagi pelaku," tambahnya.

Oleh karena itu, pelaku tetap mendapat pendampingan, pembinaan dari psikolog untuk mengetahui lebih dalam motif kekerasan, sifat, faktor yang melatarbelakangi pelaku berbuat perundungan.

Bullying tidak terjadi, jika sudah melakukan hal ini

Jika sekolah bisa mendatangkan psikolog atau merekrut psikolog ke sekolah maka hal itu lebih baik.

"Memang harus ada harus ada program dari pemerintah untuk membuat program. Semisal edukasi. Tetapi ini tak hanya bisa jalan dari pemerintah saja. Sekolah juga tetap harus ikut mengawasi, orangtua bisa mengakses ilmu parenting yang sudah banyak beredar di media sosial," tambah dia.

Namun yang utama, sekolah secara tegas mau mengedukasi siswa apa saja bullying, mana saja yang bisa masuk ranah bullying, serta peran orangtua.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/22/083413271/mengapa-kasus-bullying-terus-berulang-ini-kata-akademisi-ub

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke