Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Ujaran Kebencian Marak Terjadi di Media Sosial?

KOMPAS.com - Tahun 2021 lalu, topik soal "Microsoft" menjadi trending di Twitter setelah perusahaan itu merilis laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya.

Dalam riset tersebut, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara atau bisa disebut paling tidak sopan di wilayah tersebut.

Hate speech atau ujaran kebencian masih kerap ditemui di berbagai platform media sosial, seperti facebook, instagram, twitter dan lainnya.

Lalu, mengapa ujaran kebencian kian marak terjadi di internet?

Pakar Psikolog Internet yang merupakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Haidar Buldan Tantowi mengatakan bahwa ujaran kebencian dapat didorong oleh berbagai faktor.

1. Ada prasangka negatif

Haidar menjelaskan, faktor pertama pemicu ujaran kebencian karena dalam pribadi netizen ada prasangka negatif kepada kelompok tertentu, misalnya ada penilaian bahwa sebuah kelompok, agama, atau etnis tertentu tidak beradab, pelit, sangat eksklusif dan lain sebagainya.

Oleh karena adanya prasangka tersebut, terang dia, para netizen mendapati perasaan tidak suka terhadap kelompok lainnya, kondisi ini senantiasa mendorong mereka melontarkan ujaran kebencian.

“Kalau dia (seseorang) memang memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok atau agama tertentu, ya dia bisa (saja) melakukan hate speech,” tutur Haidar dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada.

2. Senang membuat orang lain susah

Ujaran kebencian juga bisa jadi terjadi dari perilaku trolling. Orang yang berprilaku trolling ini berbeda dengan orang dengan prasangka buruk.

Haidar menjelaskan bahwa pelaku-pelaku ujaran kebencian dari kategori trolling ini tidak didorong oleh perasaan benci kepada kelompok tertentu.

Melainkan, mereka melontarkan ujaran kebencian malah untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi.

“Jadi mereka itu memperoleh kenikmatan dengan membuat orang lain susah. Trolling ini, mereka melakukan itu karena itu menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri,” jelas Haidar.

Mengacu kepada keilmuan psikologi, Haidar menjelaskan para pelaku trolling tersebut diklasifikasikan kepada bentuk kepribadian sadism, di mana mereka memperoleh kesenangan dari kegiatan membuat orang menderita.

Misalnya ketika seseorang mem-posting hari bahagia mereka layaknya ulang tahun dan lain sebagainya, lalu tiba-tiba saja ada yang berkomentar negatif seperti menjelek-jelekkan bentuk tubuh dan lain sebagainya.

Oleh karena komentar menjelek-jelekkan tersebut, orang yang membuat posting kemudian merasa kesal atau marah.

Ketika sang pembuat posting tersebut kesal, marah, atau jengkel, maka pelaku trolling mendapatkan kesenangannya.

“Semakin emosi kita, itu membuat mereka semakin senang,” tutur Haidar.

3. Tanpa identitas

Haidar juga mengungkapkan bahwa ujaran kebencian juga didorong oleh kondisi dalam dunia internet itu sendiri.

Haidar menjelaskan dunia internet atau maya memungkinkan seorang untuk mendapati anonimitas alias tidak diketahui langsung identitasnya.

Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian.

“Oleh karena dapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk dan lebih mungkin untuk menyampaikan pandangan dan perasaan mereka,” pungkas Haidar.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/09/132757171/mengapa-ujaran-kebencian-marak-terjadi-di-media-sosial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke