Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjadi Pribadi yang Cerdas

Setiap orang di antara kita tentu menginginkan menjadi pribadi yang cerdas. Cerdas yang bagaimana? Atau cerdas yang seperti apa?

Ketika dulu -pada saat belajar- di sekolah tingkat dasar (SD); kita (minimal saya) selalu punya persepsi bahwa teman kita yang cerdas itu adalah teman dalam satu kelas yang nilainya paling tinggi atau yang punya peringkat 1, peringkat 2, atau peringkat 3.

Itulah ukuran atau indikator sederhana yang biasanya kita sebut sebagai orang cerdas.

Sehingga tidak heran jika di antara kita, akhirnya banyak yang memiliki target memperoleh nilai tertinggi, sehingga mendapatkan label peringkat 1, 2, 3. Itulah persepsi ‘cerdas’ saat itu.

Atau ada juga sebagian pihak yang memiliki persepsi bahwa orang yang punya nilai tinggi di bidang matematika. Itulah orang yang ‘dianggap’ cerdas.

Benarkah persepsi seperti ini? Ya, bisa benar, bisa juga kurang benar.

Kecerdasan Majemuk

Dalam konteks ini, penulis perlu menyampaikan satu pendapat tentang kecerdasan. Kita bisa merujuk pada pendapatnya Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences).

Gardner (1993) mendefinisikan kecerdasan sebagai berikut: kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata; kemampuan untuk menghasilkan masalah baru untuk dipecahkan; dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam budaya suatu masyarakat.

Terkait kecerdasan majemuk, intinya adalah bahwa setiap individu itu adalah individu yang cerdas.

Cerdas di bidang apa? Cerdas di bidangnya masing-masing.

Secara sederhana kecerdasan adalah kemampuan seorang individu untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupannya. Dalam menyelesaikan masalah tersebut masing-masing punya jalan atau cara sendiri-sendiri yang belum tentu sama antarindividu.

Sependapat dengan Gardner, praktisi Pendidikan Indonesia Munif chatib dalam buku “Sekolahnya Manusia”, menegaskan bahwa setiap siswa merupakan individu yang cerdas.

Kita tidak bisa memaksa agar semua anak harus pintar matematika, pintar bahasa atau pintar yang lain. Yang jelas, masing-masing anak punya kecerdasan di bidangnya masing-masing.

Yang perlu digarisbawahi dalam konteks kecerdasan adalah kecerdasan bersifat dinamis. Tidak statis.

Artinya kecerdasan itu bisa berubah dan bisa juga berkembang. Bisa hidup, bahkan bisa juga mati. Tergantung dalam kendali individu kita masing-masing.

Kecerdasan dalam arti yang sangat sederhana adalah suatu kebiasaan individu yang dilakukan secara berulang-ulang.

Contoh: misalnya, siswa A dalam setiap harinya selalu belajar matematika, pagi-siang-sore, bulan pertama-bulan kedua selalu belajar matematika. Maka tidak heran jika siswa tersebut akhirnya menjadi pribadi yang cerdas di bidang matematika.

Demikian juga siswa B, misalnya. Dalam setiap harinya selalu gemar bermain musik di waktu pagi-siang-sore, di rumahnya sendiri, di rumah temannya, bahkan di sekolahnya juga masih menyempatkan bermain musik.

Maka, tidak heran jika siswa B akhirnya menjadi individu yang punya kecerdasan tinggi di bidang musik.

Apakah siswa A tersebut selamanya, kecerdasannya adalah cerdas di bidang matematika? Apakah siswa B tersebut selamanya, juga kecerdasannya di bidang musik?

Bisa iya, bisa juga tidak. Jawabannya adalah tergantung.

Kalau siswa A dan siswa B konsisten sekaligus komitmen menekuni bidang matematika atau bidang musik, ya jawabannya adalah dia akan konsisten di kecerdasannya tersebut.

Namun, jika siswa A, pada masa sekolah SMA lebih menekuni bidang olahraga, misalnya. Sementara pelajaran matematika sudah tidak dipelajari intensif lagi, maka bisa jadi kecerdasan matematika yang dulunya tinggi akan berada di nomor kesekian di bawah kecerdasan kinestetik atau olahraga.

Demikian juga bagi siswa B, ternyata dalam perkembangannya suka mengembangkan skill di bidang menggambar atau melukis. Siswa B juga sering mengikuti pameran lukisan.

Sementara kemampuan musiknya sudah tidak lagi dikembangkan. Walhasil siswa B akhirnya menjadi individu yang cerdas di bidang kecerdasan visual spasial.

Termasuk kita sendiri juga bisa melakukan refleksi diri. Bisa jadi, dulu kita pernah punya kemampuan di bidang tertentu, namun sekarang ternyata kemampuan itu sudah tidak sering lagi kita lakukan untuk pengembangannya.

Begitu sebaliknya, dulu tidak pernah melakukan kemampuan tertentu, ternyata sekarang kita mahir di bidang hal tersebut. Inilah kecerdasan. Suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus.

Sekarang pertanyaannya dikembalikan kepada diri kita masing-masing, kita mau menjadi pribadi yang cerdas di bidang yang mana?

Kalau ingin cerdas di bidang linguistik, maka kemampuan atau kebiasaan yang mendukung kecerdasan linguistik itu yang harus kita bangun, kita biasakan dalam kegiatan kita sehari-hari.

Jika kita ingin membangun pribadi yang cerdas di bidang matematika, maka dalam keseharian kita melakukan aktivitas yang bisa menunjang kemampuan Matematika.

Lalu, apakah kecerdasan itu ada yang lebih baik atau yang lebih buruk?

Tidak! Semua kecerdasan itu mempunyai derajat yang sama, tidak ada yang lebih baik atau yang lebih jelek.

Semuanya sama, yang penting tugas kita -setiap individu- adalah menggali potensi kecerdasan yang ada dalam diri kita masing-masing.

Selanjutnya, tantangannya adalah apa yang sudah ada dalam potensi diri kita, itulah yang harus kita kembangkan.

Jadi, dalam konteks ini saya setuju apa yang ditulis oleh Munif Chatib dalam buku “Sekolahnya Manusia”, bahwa strategi pengembangan kecerdasan adalah “mengembangkan kemampuan, mengubur kelemahan.”

Setiap dari kita adalah cerdas. Cerdas di bidang kita masing-masing. Marilah kita menghargai pengembangan kecerdasan pada masing-masing orang.

Semoga kita semua bisa Istiqomah menjadi pribadi yang cerdas. Semoga.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/05/23/092000671/menjadi-pribadi-yang-cerdas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke