Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merdeka Belajar, "Now or Never"?

“Pengajaran umumnya memerdekakan manusia dari hidup lahirnya, sedangkan pendidikan memerdekakan hidup batinnya.” - Ki Hajar Dewantara

KOMPAS.com - Konsep merdeka dalam pendidikan sebenarnya sudah digagas Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan harus memerdekakan anak didik, memerdekakan pikir dan batinnya.

Karenanya metodologi pengajaran, kualitas guru serta sarana dan prasarana juga harus mendukung anak didik untuk bebas berkreasi,kritis, berani mengemukakan pendapat dan tidak memiliki mental takut salah.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan,Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim meluncurkan sebuah konsep "baru" dalam dunia pendidikan yang disebut Merdeka Belajar.

Benarkah ini sebuah konsep dan terobosan baru dalam dunia pendidikan kita? Dan apakah konsep ini akan menjadi solusi bagi percepatan terciptanya manusia Indonesia unggul di tahun 2045 nanti?

Merdeka Belajar

Apakah yang dimaksud dengan merdeka belajar? Mengapa ada kata "merdeka"? Apa yang dimerdekakan?

Secara umum konsep ini mengusung ide tentang pentingnya seorang siswa memiliki ruang yang luas untuk mengolah apa yang ia lihat, ia pahami secara bebas untuk kemudian ia analisa dan ia ekstraksikan menjadi sebuah ilmu.

Topik yang dibahas bisa sama namun pemahaman setiap siswa bisa jadi berbeda. Diantara perbedaan pemahaman itulah tercipta ruang-ruang untuk berdiskusi, mengkritisi, menyempurnakan, menambahkan.

Ruang untuk belajar!

Dengan pola konvensional seperti sekarang ini, siswa "dipaksa' untuk menyerap ilmu dengan cara yang sama , dalam sebuah ruang kelas yang sama dan terbatas, sehingga ilmu yang didapat hanya sebatas apa yang disampaikan guru atau buku panduan.

Sering kita lihat dalam kunjungan kerjanya ke berbagai dearah, Presiden menyempatkan diri untuk bertemu dan berdialog dengan para pelajar mulai dari yang masih di sekolah dasar (SD) maupun sekolah menengah.

Ketika Presiden meminta para pelajar yang sebagian besar adalah pelajar SD kelas 2-3 untuk menyebutkan sila-sila dalam Pancasila, hampir semuanya lancar menyebutkan sila ke 1 sampai ke 5 walaupun sebenarnya kalimat-kalimat tersebut cukup panjang dan tidak mudah untuk dihafalkan.

Namun ketika dilontarkan pertanyaan sederhana seperti misalnya kenapa kamu suka pelajaran matematika? Atau kenapa kamu punya cita-cita -menjadi guru? Rata-rata tidak dapat menjawabnya.

Pertanyaan "kenapa" adalah sebuah open question bukan yes/no question yang hanya memiliki dua pilihan jawaban atau multiple choice question dengan beberapa pilihan jawaban.

Pertanyaan dengan kata "kenapa" tidak akan dapat dijawab oleh siswa yang hanya tahu bahwa guna air adalah hanya untuk mengairi sawah, minum dan untuk mandi. Karena hanya itu informasi yang ada di buku pelajaran.

Jadi ketika ada siswa yang menjawab pada saat ujian, guna air adalah untuk mencuci mobil maka jawabannya dianggap salah.

Di sinilah letak perbedaannya. Dalam konteks merdeka belajar, guru dapat meminta murid untuk mempersiapkan materi untuk dibahas esok hari dengan meminta siswa mengamati (observe) apa guna air berdasarkan pengamatan di rumah masing-masing.

Tentunya hasil pengamatan setiap anak akan berbeda, dan ketika hal ini dibahas di kelas yang terjadi adalah knowledge sharing, dan pemahaman yang lebih mantap dan kaya karena ilmu yang didapat didasarkan atas pengalaman dan pengamatan masing-masing siswa.

Bukan hanya siswa, gurupun akan banyak mendapat ilmu baru dari proses seperti ini. Dari proses ini pula akan terbentuk karakter unggul yang diperlukan di masa yang serba disruptif ini yaitu kritis, inovatif dan kreatif.

Pandemi, sebuah momentum

Situasi pandemi Covid 19 yang terjadi sekarang ini tidak memberikan banyak pilihan bagi sektor pendidikan kecuali berubah secara mendasar dan cepat.

Sektor pendidikan di Indonesia yang selama ini masih berkutat dengan urusan what to deliver seperti misalnya pembahasan tentang kurikulum, materi ajar dan juga kualitas dan kuantitas guru, mau tidak mau harus segera memikirkan dengan serius perubahan tentang how to deliver.

Pendidikan di masa pandemi ini membutuhkan bukan saja perubahan dari sisi infrastruktur namun juga perubahan sistem, pola pikir dan juga karakter semua pemangku kepentingan.

Contoh yang paling nyata adalah tentang pengajaran secara daring.

Di Indonesia pengajaran secara daring masih jauh dari optimal dan masih sebatas suplemen terhadap sistem pengajaran konvensional. Ketidaksiapan infrastuktur jaringan, ketidaksiapan guru dan juga ketiadaan sumber daya lain menjadi masalah utama.

Perubahan yang sangat cepat dan ekstrim ini menimbulkan kepanikan dan kebingungan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan seperti pihak penyelenggara pendidikan (sekolah,kampus), orang tua dan tentu saja para pelajar dan mahasiswa itu sendiri.

Di Indonesia pembelajaran secara daring di masa pandemi ini masih tergolong prematur dan masih sering terjadi mispersepsi dalam pelaksanaan di lapangan.

Pembelajaran berbasis daring masih diterjemahkan sebagai kuliah umum melalui media elektronik, hanya tentang live streaming, hanya tentang pemberian informasi satu arah yang kemudian ditutup dengan pemberian tugas.

Pembelajaran daring bukan sekedar mengganti ruang kelas menjadi gawai, bukan sekedar pengadaan laptop, atau sekedar mencari materi yang bersifat visual yang dapat membantu proses pengajaran.

Pembelajaran daring menuntut adanya perubahan sikap dan karakter dalam belajar mengajar, seperti kemandirian dan sense of responsibility.

Sistem pembelajaran seperti ini dapat dijadikan titik tolak untuk mengeksplorasi lebih jauh kemampuan siswa dalam berpikir kritis, inovatif , kolaboratif dan komunikatif, sebuah rangkaian kemampuan dan ketrampilan yang sering disebut sebagai keterampilan abad ini (21st century skills).

Resiprokal

Merdeka belajar bukan berarti siswa memiliki kebebasan tak terbatas. Kebebasan dan fleksibilitas berlaku resiprokal antara guru dan siswa, antara dosen dan mahasiswa.

Misalnya ada siswa yang lebih menyukai materi yang berbasis presentasi multimedia, namun ada pula yang lebih nyaman memulai pelajaran dengan materi yang lebih mengedepankan kemampuan mendengar.

Pola lama yang cenderung mengedepankan keseragaman dalam cara belajar telah mengkerdilkan nilai-nilai kreatifitas yang merupakan modal bagi pembentukan kepribadian yang kuat dan percaya diri para siswa.

Guru juga diberi kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih materi dan metodologi apa yang ingin ia terapkan.

Ada guru yang lebih senang menyampaikan materi dengan bernyanyi atau memainkan instrumen musik, ada juga yang memulai pelajaran sejarah dengan meminta siswa untuk menonton beberapa film tentang tokoh-tokoh nasional dari youtube, untuk kemudian dibahas dan didiskusikan bersama.

Bukan sekedar menghafal mati tahun-tahun penting dari berbagai peristiwa dalam rentetan sejarah.

Jadi, baik guru maupun siswa diberikan ruang luas dalam menghantarkan ilmu dan kemerdekaan untuk menerima dan menyerap ilmu. Sebuah proses yg resiprokal.

Proses belajar pun dapat berjalan "terbalik" misalnya dengan meminta siswa menerangkan sari pati materi kuliah hari ini berdasarkan apa yang telah dibacanya kemarin malam sebagai persiapan.

Sementara siswa lain bisa jadi lebih senang memulai perkuliahan dengan cara mengajukan pertanyaan sebagai pembuka. Pertanyaan telah disiapkan siswa sebagai bagian dari persiapan yang dilakukan mandiri.

Respon guru tentunya akan berbeda terhadap kedua siswa tersebut sehingga pengalaman belajar yang didapat juga akan berbeda.

Momong, among dan ngemong

Seakan dapat meramal jaman, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang berakar dari kearifan lokal dan nilai-nilai luhur bangsa akan selalu relevan dan tak lekang oleh waktu.

Dalam tatanan kultur kita, sebenarnya banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang dapat menjadi landasan dari sistem merdeka belajar.

Salah satunya adalah konsep momong, among dan ngemong yang disebut oleh Bapak Pendidikan Nasional kita ini sebagai nilai utama dari pendidikan.

Memerdekakan ide, inisiatif dan kreatifitas tetap harus diimbangi oleh arahan , bimbingan dan pemantauan dari para guru dan pendidik.

Di sinilah guru, orang tua, mentor dan setiap orang yang menjadi panutan dan rujukan bagi setiap anak didik memainkan peranan strategis sebagai among yang mengawasi, memandu proses belajar dan mengingatkan si anak didik jika keluar dari koridornya.

Jadi, sejalan dengan konsep yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, konsep merdeka belajar menempatkan siswa sebagai episentrum dari proses pembelajaran (student-centred learning) dan guru berperan sebagai among ,fasilitator dan pembimbing.

Karenanya, dalam mengajar guru tidak dapat menggunakan pendekatan one size fits all bagi seluruh siswa didiknya.

Setiap siswa akan dimomong (dibimbing) secara khusus, berdasarkan minat, kemampuan dan potensinya masing-masing.

Now or Never

Presiden Joko Widodo telah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045 berdasarkan prediksi adanya bonus demografi yang akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2030-2040.

Pada saat itu jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa (Siaran Pers Bappenas – OECD , 22 Mei 2017) .

Manusia unggul hanya dapat terwujud dari sebuah sistem pendidikan nasional yang berbasis kompetensi dan karakter.

Jika mampu membangun sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keunggulan global yang tidak saja memilili kecerdasan akademis namun juga kemampuan lainnya seperti kepempimpinan, resiliensi, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berkomunikasi, maka Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang patut diperhitungkan.

Memang tidak semudah itu mewujudkannya. Salah satu alasan yang paling banyak disoroti adalah masalah kesiapan infrastruktur pendidikan serta kualitas guru dan dosen.

Anggaran pemerintah dalam sektor pendidikan yang ratusan triliun tidak menjamin kita akan sampai ke titik tujuan.

Merdeka Belajar dapat menjadi salah satu program percepatan untuk mencapai tujuan tersebut. Memang masih banyak yang meraba- raba bagaimana menterjemahkan konsep ini menjadi program nyata yang workable.

Bukan hanya satu atau dua sekolah, bukan hanya satu atau dua perguruan tinggi yang menghadapi masalah ini. Inilah tantangannya. Anggap saja ini seperti sebuah test drive. Tanpa mencoba kita tak pernah tahu dimana kita harus memperbaiki dan mengembangkannya.

Ada irisan antara disrupsi (pandemi) dan konsep merdeka belajar yaitu ruang untuk kreativitas dan inovasi. Pandemi Covid 19 menyadarkan kita bahwa di balik bencana ini ada berkah (blessing in disguise).

Kita "dipaksa" segera berkemas dan bergegas dengan sumber daya yang dimiliki untuk memulai sistem yang masih terasa asing bagi kita.

Kita harus segera mengaplikasikan sebuah sistem pembelajaran baru walapun masih tergagap. Inilah momentumnya. Untuk Indonesia Unggul di tahun ke 100 kemerdekaanya. Semoga!

*) penulis adalah Koordinator Tim Beasiswa Netherlands Education Support Office (Nuffic Neso)

https://www.kompas.com/edu/read/2021/08/17/112418271/merdeka-belajar-now-or-never

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke