Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Suara Mahasiswa di Balik Rencana Kembali ke Kampus

Oleh: Franky Selamat | Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

KOMPAS.com - Setahun lebih sudah, pandemi belum juga berlalu. Kampus masih tutup. Proses pembelajaran tetap dilakukan dari rumah.

Meski pemerintah mengisyaratkan pembukaan kampus secara bertahap pada Juli 2021, sejumlah kalangan memandang perlunya kehati-hatian dan persyaratan ketat dipenuhi sebelum rencana ini direalisasi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim seperti dikutip dari Kompas.com (31 Maret 2021) menyebutkan dua alasan penting mengapa pembelajaran tatap muka terbatas harus segera dilakukan. Pertama, vaksinasi pendidik dan tenaga pendidik, yang sedang dijalankan mulai April 2021 ini.

Kedua, mencegah lost of learning karena kondisi pendidikan di Indonesia sudah tertinggal dari negara lain selama pandemi ini.

Mas Menteri juga mengingatkan bahwa pembelajaran tatap muka terbatas tidak harus menunggu sampai Juli 2021 jika para pendidik telah divaksinasi.

Pembukaan dilakukan dalam tiga tahap. Untuk tahap pertama, pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) dan sekolah luar biasa (SLB). Tahap kedua, SMP, SMA dan SMK. Tahap ketiga, pendidikan tinggi.

Untuk menjalankan proses ini sekolah dan kampus harus tetap memperhatikan kapasitas maksimal 50 persen, melaksanakan sistem rotasi dan memperoleh izin orang tua. Selain itu, protokol kesehatan ketat harus dijalankan.

Bagi kalangan perguruan tinggi berita ini disambut suka cita terutama bagi mahasiswa, yang telah merindukan kembali ke kampus yang sebenarnya.

Suara mahasiswa

Sejumlah mahasiswa mengungkapkan keinginannya untuk kembali menjalani proses pembelajaran dan aktivitas lainnya di kampus. Keterbatasan interaksi secara langsung dengan teman-teman dan dosen membuat dorongan itu kian membuncah.

Terbatasnya interaksi dengan komunitas mahasiswa dirasa begitu menyiksa secara psikologis. Jiwa muda mahasiswa yang aktif dan dinamis tak dapat disalurkan secara tuntas hanya dengan sarana daring.

Mereka biasa berkegiatan di kampus, namun hingga kini dipaksa berinteraksi via media daring.

Belajar di rumah bukannya tanpa manfaat positif. Pandemi telah mengajak mahasiswa belajar tentang pentingnya kolaborasi dan berbagi. Solidaritas di antara mereka terjalin kuat, juga dengan sesama di luar komunitas.

Kesulitan memahami materi dalam pembelajaran daring mendorong mahasiswa berbagi, mendalami bersama, belajar bersama walau tidak bertemu langsung.

Sayangnya, banyak dosen mengeluhkan kolaborasi dan berbagi itu terus dilanjutkan hingga saat mengerjakan soal ujian.

Tak ayal lagi, jawaban yang diberikan serupa. Apalagi jika materi yang diberikan bersifat kuantitatif. Jawaban sama dan bisa dipastikan seluruh mahasiswa memperoleh nilai yang sama pula.

Barangkali salahnya sang dosen yang tidak mengubah metode evaluasi pembelajaran. Cuma memindahkan ujian di kelas ke rumah masing-masing dan menambahkan tingkat kesulitan soal.

Mengenai hal ini, mahasiswa mengatakan bahwa mereka berkolaborasi dan berbagi jawaban ujian karena kondisi yang tidak menguntungkan jika masih kukuh "idealis".

"Jika saya tidak memberitahu jawaban, teman saya tidak akan membantu saya jika saya menemukan kesulitan menjawab soal. Jika saya bekerja seorang diri karena tidak ada yang mau bekerja sama dengan saya, lalu saya memperoleh nilai paling rendah di kelas, apakah dosen peduli dengan saya, bahwa saya telah mengerjakan sendiri, tidak bekerja sama?"

Demikian pembelaan dan ungkapan hati seorang mahasiswa. Apa yang disampaikan memang patut dipahami.

Seandainya kalangan pengajar berada di posisi mahasiswa, tidak ada yang berani menjamin, akan berlaku sebaliknya. Sekali lagi metode untuk mengevaluasi hasil belajar mahasiswa harus diubah.

Sementara bagi mahasiswa, penting untuk kembali ke kampus agar dapat berkonsultasi langsung dengan dosen, mencari pencerahan atas materi yang selama setahun ini, dianggap kurang dipahami.

Dan, tentu saja bersua kembali dengan teman-teman, menambah warna-warni kehidupan kampus, menambah semangat meniti masa depan.

Bagi mahasiswa baru, yang belum pernah menginjak kampus, tentu dorongan merasakan suasana kampus begitu kuat. Barangkali kehidupan kampus yang nyata bukan maya masih dalam bayangan mereka.

Bagi dosen, pengalaman setahun lebih dari proses pembelajaran daring memberi banyak pelajaran dan perspektif baru dalam metode pengajaran. Ada yang masih bisa dijalankan, tidak sedikit yang terus mengalami kesulitan. Sasaran pembelajaran tidak tercapai.

Interaksi langsung dalam pengajaran belum dapat digantikan.

Saran untuk pengelola

Tampaknya diperlukan jalan tengah dalam situasi dilematis seperti saat ini. Membuka kampus seperti sediakala memang belum memungkinkan. Kendati setiap warga kampus sudah merindukan suasana seperti dulu lagi.

Kampus harus dibatasi maksimal 50 persen dari kapasitas normal. Dengan asumsi para dosen dan tenaga pendidik lainnya telah menjalani vaksinasi, pembukaan kampus mestinya harus dipersiapkan sejak dini, terutama yang berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan ketat.

Pertama, siapa mahasiswa yang menjadi prioritas boleh menjalankan proses pembelajaran di kampus?

Mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun tugas akhir patut menjadi pertimbangan pertama.

Mereka biasa berkonsultasi intens dengan dosen pembimbing untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Bisa di laboratorium, atau mencari referensi di perpustakaan. Secepatnya perpustakaan segera disiapkan untuk menerima kunjungan dari segenap sivitas akademika.

Selain mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, mahasiswa yang sedang mengambil praktik laboratorium atau mata kuliah dengan materi yang sarat dengan perhitungan kuantitatif, mestinya juga dapat dipertimbangkan untuk hadir kembali di kelas, tentu dengan memperhatikan kapasitas 50 persen dari kondisi normal.

Kedua, bagi mahasiswa yang belum memperoleh kesempatan untuk mengikuti perkuliahan luring, tetap diperkenankan berkonsultasi dengan dosen di kampus.

Mereka harus mendaftar terlebih dahulu melalui program daring khusus yang didesain untuk mengontrol jumlah mahasiswa yang datang. Maksud kedatangan dan hendak menemui siapa terekam pasti.

Ketika datang, di pintu masuk petugas memeriksa bukti izin berupa QR code, untuk dipindai, sebagai syarat menemui dosen.

Ketiga, pada kondisi tertentu ujian tertulis dapat dilaksanakan di kampus. Ini untuk memberikan solusi bagi dosen yang masih kesulitan mengubah cara mengevaluasi proses pembelajaran mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa pilihan ini menjadi tidak menyenangkan.

"Saya lebih memilih perkuliahan luring, tapi ujiannya tetap daring," demikian tutur seorang mahasiswa sambil tersenyum penuh arti.

Pembelajaran secara campuran (blended) yaitu daring dan luring, akan menjadi keniscayaan di masa pandemi, dan bisa jadi seterusnya.

Menjalani masa-masa sulit ini dan terus beradaptasi dengan berbagai perubahan yang masih akan terus terjadi, menjadi tantangan selanjutnya.

Setahun lebih dunia pendidikan Indonesia bergelut dengan berbagai ketidakpastian, walau dengan risiko lost of learning, kita masih bisa bertahan.

Rencana pembukaan kampus secara terbatas dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi mudah-mudahan tidak menjadi euforia yang meninabobokan padahal ujian pandemi masih jauh dari selesai.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/04/05/101538471/suara-mahasiswa-di-balik-rencana-kembali-ke-kampus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke