Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kartini Penggerak Inklusi, Setarakan Hak Disabilitas untuk Berkarya

KOMPAS.com - Untuk mendukung kaum disabilitas berkarya di tengah keterbatasan, mulailah dengan berkenalan dan menerima perbedaan. Stigma tak semestinya menjadi penghalang untuk berkolaborasi, melainkan tantangan yang harus dihadapi bersama.

Itulah pesan singkat yang dituturkan oleh Finalis Puteri Indonesia 2019 Karina Syahna yang kini berkecimpung menjadi guru tari untuk anak-anak berkebutuhan khusus (down syndrome).

Ia mengatakan, keputusannya untuk lebih mengenal anak-anak berkebutuhan khusus membuatnya memahami bahwa mereka memiliki banyak kelebihan.

Karina pun membuktikan bahwa dukungan yang tepat dapat membuat murid-murid tarinya terjun ke pentas seni internasional dan mendapatkan banyak apresiasi atas prestasi tari.

Hal serupa juga dijalani Dian Sastrowardoyo yang sama-sama hadir sebagai pembicara dalam konferensi daring M-Takls 2020: Kartini Penggerak Inklusi yang diselenggarakan oleh Rumah Millennials dan Konekin Indonesia, Minggu (19/4/2020) lalu.

Dian bercerita kalau ia juga memiliki pengalaman dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Dian Sastro dan pengalaman terapi anak

Sebagai seorang ibu, Dian memiliki insting bahwa ada yang berbeda dengan anak sulungnya yang kala itu masih berusia delapan bulan. Ia curiga bahwa sang putra mengalami autisme dan memutuskan untuk konsultasi dan terapi ke dokter di Singapura.

"Untuk bisa membawa anak ke ahli itu, aku dan suami sempat bersitegang. Pertama suami aku enggak setuju keluarin uang segitu banyak, kedua aku susah meyakinkan dia kalau anak kita benar-benar memerlukan penanganan terbaik. Dia (suami) bilang 'anak saya normal kok, emang anaknya suka marah-marah aja' padahal enggak begitu," cerita Dian.

Karena kala itu sang suami tidak sependapat, maka Dian harus kembali bekerja demi memenuhi biaya dokter sekaligus terapi yang harga sangat mahal.

Setelah menjalani terapi selama sekitar 6 tahun, Dian amat bersyukur mengambil langkah yang tepat sehingga sang anak bisa berkembang dengan sangat baik layaknya anak-anak tanpa autisme.

"Anak saya waktu bayi tantrum (marah-marah) hampir setiap hari. Sekarang itu pas sudah bisa ngomong, sudah bisa berfungsi seperti normal, seperti orang biasa, sekarang enggak pernah marah-marah, anaknya baik banget. Malah suka cerita, aduh pokoknya bener-bener alhamdulillah banget," kata Dian.

Menurut Dian, tanggapan orang terhadap realita baru memang berbeda, ada yang mengelak bahkan tidak mau tahu. Namun menurutnya, saat masalah itu ada, jalan keluarnya ialah menemukan solusi terbaik.

Mengingat biaya terapi tidak murah, Dian juga bercerita bahwa ada seorang teman yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi terapis bagi anaknya yang berkebutuhan khusus.

Menurutnya, macam-macam usaha tentu ada plus dan minus, namun selama ada usaha, di sana selalu ada jalan.

Disabilitas bisa dialami siapa saja

Risnawati Utami yang merupakan warga negara sekaligus perempuan Indonesia pertama di Komite Disabilitas PBB mengatakan, isu disabilitas sudah seharusnya menjadi isu bersama, bukan hanya isu milik sekelompok orang.

"Karena isu (disabilitas) itu sangat lekat dengan kehidupan di sekitar kita, mungkin ada saudara kita, teman kita, atau bahkan orangtua kita, anak kita, kakek nenek kita yang mengalami disabilitas. Sehingga kita harus memiliki kepekaan bahwa isu disabilitas bukanlah isu yang berbeda dengan isu anak, isu perempuan, isu lingkungan, semua saling berkaitan," papar Risna di kesempatan yang sama.

Bahkan, kondisi disabilitas bisa saja dialami oleh siapapun tanpa memandang usia. Seperti kisah yang dialami oleh wartawan tuna netra Tempo Cheta Nilawati.

Dalam kesempatan yang sama, Cheta bercerita bahwa tuna netra yang dialaminya bukanlah bawaan dari lahir, melainkan baru dialami pada tahun 2016, tepat saat menginjak usia 34 tahun, dan telah 10 tahun menjadi wartawan.

"Saya memang tidak tuna netra dulu baru jadi wartawan. Alhamdulillah waktu itu tempat saya bekerja memperbolehkan saya tetap melanjutkan karier menjadi wartawan. Tetapi bukan berarti bagi teman-teman lain yang misalnya sudah netra dari lahir tidak bisa berkecimpung jadi wartawan," paparnya.

Menurut Cheta, penyandang disabilitas harus mampu bersaing walau kerjanya harus dua atau tiga kali lipat. Bahkan, sudah ada sejumlah website yang menerima teman-teman disabilitas untuk bekerja sebagai penulis.

"Menurut saya, teman-teman yang sudah netra sejak lahir tentu memiliki insting dan mobilitas yang lebih baik ketimbang saya yang netra setelah tua," imbuhnya.

Untuk bisa tetap menjadi wartawan, Cheta menghubungi Yayasan Mitra Netra untuk belajar menggunakan komputer khusus untuk netra. Sekitar empat bulan belajar, untuk bisa kebali menjadi wartawan Cheta harus mengasah insting menulisnya sebagai netra dengan lebih dulu menjadi citizen jurnalist.

Ia mengutarakan, dengan usaha lebih dan dukungan sekitar, kini tak sedikit tuna netra yang mampu bekerja menjadi penulis, customer service, telesales, dan banyak pekerjaan lainnya.

"Rumah" bagi disabilitas

M-Takls 2020: Kartini Penggerak Inklusi menjadi salah satu cara Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin) mengolaborasikan masyarakat luas dengan kaum disabilitas agar bisa menghasilkan karya lebih besar dalam kehidupan.

Konekin merupakan startup sosial yang berdiri sejak November 2018 dengan tujuan untuk mendorong ekosistem inklusif di Indonesia melalui penyebaran informasi, peningkatan partisipasi publik dan penciptaan kolaborasi dengan penyandang disabilitas.

“Semangat Konekin adalah semua orang tahu isu disabilitas, kemudian mau terlibat, hingga akhirnya mampu menciptakan lingkungan yang inklusif,” papar Founder Konekin dan Ketua Bidang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Rumah Millennials Marthella Sirait.

https://www.kompas.com/edu/read/2020/04/21/113145671/kartini-penggerak-inklusi-setarakan-hak-disabilitas-untuk-berkarya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke