Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelompok Minoritas Jadi Sasaran Ujaran Kebencian Selama Pemilu 2024

Kompas.com - 17/02/2024, 13:31 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kelompok minoritas menjadi sasaran ujaran kebencian selama pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Ujaran kebencian yang beredar di media sosial sebagian besar berupa serangan terhadap identitas, seperti agama, ras, atau identitas politik.

Ada pula hinaan, kata-kata kotor, ancaman, dan ujaran bernada seksual atau vulgar.

"Paling banyak serangan terhadap identitas. Baik identitas etnis, identitas keagamaan, identitas politik," kata Associate Professor Program Manajemen Kebijakan Publik Monash University Indonesia, Ika Idris pada 12 Februari 2024.

Hal tersebut disampaikan saat peluncuran Dashboard Pantauan Ujaran Kebencian yang disiarkan melalui kanal YouTube Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Monash Data dan Democracy Research Hub (MDDRH) dan AJI memantau lebih dari 24.000 teks ujaran kebencian selama periode 1 September 2023 sampai 31 Januari 2024.

Berdasarkan hasil pantauan, terdapat kelompok yang ditargetkan dalam ujaran kebencian, meliputi:

  • Yahudi ada 90.911 konten
  • Disabilitas ada 46.278 konten
  • Tionghoa ada 9.563 konten
  • LGBTQ+ ada 7.262 konten
  • Kristen dan Katolik ada 4.755 konten
  • Syiah ada 1.214 konten
  • Ahmadiyah ada 55 konten
  • Kelompok lainnya sebanyak 5.587 konten.

Terlihat ujaran kebencian yang paling banyak beredar pada Pemilu 2024 menyasar kelompok Yahudi atau Israel.

Penyerangan Gaza oleh Israel memicu tingginya angka kebencian terhadap Yahudi di media sosial.

"Di sini kita belum membedakan negara Israel dan Yahudi, tetapi memang kita masukkan ke dalam satu kelompok," kata Ika.

Tools yang ada juga masih belum mampu membedakan serangan untuk negara China atau serangan terhadap masyarakat Tionghoa.

Hasil pemantauan juga menemukan peningkatan ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya, karena kedatangan pengungsi di Aceh.

Melihat tren peningkatan ujaran kebencian terhadap Yahudi dan Rohingya, peneliti menambahkan dua kategori pencarian dengan dua subjek tersebut.

Hasilnya, sebanyak 26,9 persen atau 182.118 dari total 678.106 teks mengandung ujaran kebencian.

Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay ujaran kebencian yang beredar tidak terlepas dari peserta pemilu.

Misalnya, ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berkontestasi, ujaran kebencian terhadap kelompok Tionghoa meningkat.

Hadar berharap, dengan adanya pantauan ujaran kebencian di masa pemilu, diharapkan mampu mengantisipasi dampak lebih jauh yang dapat timbul, seperti polarisasi, bahkan sampai kekerasan.

Hal senada disampaikan oleh Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Beltsazar Krisetya.

"Hate speech yang ada di media sosial itu tidak bisa dipisahkan dengan kejadian yang ada di dunia nyata. Baik pemilu maupun kejadian lainnya," ujar Beltsazar.

Polanya pun berbeda. Ada narasi ujaran kebencian yang muncul lebih dahulu, lantas diikuti kekerasan di dunia nyata.

Pun sebaliknya, kekerasan di dunia nyata menjadi pemicu ujaran kebencian di media sosial.

Beltsazar memaparkan, ujaran kebencian bertahan lebih lama dari penyelenggaraan pemilu.

"Artinya, tindakan kolaborasi multi pihak untuk menangani hate speech supaya dia tidak bermukim lama, supaya tidak tinggal lama di media sosial, di benak masyarakat, perlu dilakukan," kata Beltsazar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fakta Vaksin AstraZeneca: Efektivitas, Keamanan, dan Penggunaan di Indonesia

Fakta Vaksin AstraZeneca: Efektivitas, Keamanan, dan Penggunaan di Indonesia

Data dan Fakta
Pemberantasan Wabah Cacar, dari Teknik Kuno hingga Penemuan Vaksin

Pemberantasan Wabah Cacar, dari Teknik Kuno hingga Penemuan Vaksin

Sejarah dan Fakta
Berbagai Manipulasi Video Figur Publik Promosikan Judi 'Online'

Berbagai Manipulasi Video Figur Publik Promosikan Judi "Online"

Hoaks atau Fakta
Peristiwa Cimanggis 1998, Upaya Reformasi dan Menumbangkan Orde Baru

Peristiwa Cimanggis 1998, Upaya Reformasi dan Menumbangkan Orde Baru

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Prabowo Akan Menikahi Sofiatun Gudono pada 20 Mei

[HOAKS] Prabowo Akan Menikahi Sofiatun Gudono pada 20 Mei

Hoaks atau Fakta
Kebencian terhadap Perang Nuklir yang Melahirkan Godzilla

Kebencian terhadap Perang Nuklir yang Melahirkan Godzilla

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Cristiano Ronaldo Kritik Penampilan Marselino Ferdinan

[HOAKS] Cristiano Ronaldo Kritik Penampilan Marselino Ferdinan

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Pelatih Timnas Guinea Kaba Diawara Sebut Indonesia Negara Miskin

[HOAKS] Pelatih Timnas Guinea Kaba Diawara Sebut Indonesia Negara Miskin

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Saldi Isra Mundur dari Hakim MK, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks Saldi Isra Mundur dari Hakim MK, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
Misteri Penemuan Mayat di Kepulauan Seribu pada 1998...

Misteri Penemuan Mayat di Kepulauan Seribu pada 1998...

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Lionel Messi Kritik Marselino Ferdinan karena Bermain Egois

[HOAKS] Lionel Messi Kritik Marselino Ferdinan karena Bermain Egois

Hoaks atau Fakta
Beethoven Diyakini Tak Sepenuhnya Tuli Saat Debut 'Symphony No. 9'

Beethoven Diyakini Tak Sepenuhnya Tuli Saat Debut "Symphony No. 9"

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Guinea Mundur dari Babak Play-off Olimpiade Paris 2024

[HOAKS] Guinea Mundur dari Babak Play-off Olimpiade Paris 2024

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Pertemuan Jokowi dan Megawati di Istana pada 2016

[KLARIFIKASI] Video Pertemuan Jokowi dan Megawati di Istana pada 2016

Hoaks atau Fakta
Hoaks, Spongebob Squarepants Terinspirasi Kisah Tragis Bocah 9 Tahun

Hoaks, Spongebob Squarepants Terinspirasi Kisah Tragis Bocah 9 Tahun

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com