KOMPAS.com - Pada awal abad ke-20 masyarakat muslim Tionghoa di Indonesia diketahui sudah aktif terlibat dalam dunia politik.
Masyarakat Tionghoa terpecah ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok Sin Po yang pro dengan Republik Rakyat China, kelompok Chung Hwa Hui (CHH) yang berkubu kepada Belanda, serta Partai Tionghoa Indonesia yang pronasionalis Indonesia.
Lantas, bagaimana posisi masyarakat muslim Tionghoa?
Dikutip dari China Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis (2012), seiring dengan populernya istilah "bangsa" di kalangan masyarakat Jawa, muncul kebingungan di tengah masyarakat Tionghoa.
Pada 1918, terjadi kerusuhan akibat propaganda anti-Tionghoa di Kudus. Sementara, tidak ada gerakan nasionalis yang mencoba melibatkan masyarakat Tionghoa sebagai bagian dalam perjuangan bangsa.
Baca juga: Sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia Era Kolonial
Contohnya, tokoh kiri Sarekat Islam (SI) Semaoen yang menyerukan bahwa istilah "bangsa" merujuk pada pribumi miskin.
Masyarakat Tionghoa yang kaya dianggap sebagai masyarakat asing. Sehingga masyarakat miskin, menurut Semaoen, perlu dipersatukan oleh ras dan agama.
Masyarakat muslim Tionghoa terpaksa menyembunyikan identitas keislaman mereka di ruang publik.
Dukungan terhadap nasionalisme Indonesia tidak dapat ditujukan secara terang-terangan, kecuali di luar Jawa.
Di Indonesia pernah ada Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII) yang didirikan oleh Ong Kie Ho. Dia merupakan seorang Tionghoa kelahiran Toli-Toli, Sulawesi.
Awalnya Ong Kie Ho mendirikan Partai Islam (PI), tetapi kemudian dia diasingkan ke Pulau Jawa pada 1932.
Setahun setelahnya, Ong Kie Ho mendirikan organisasi baru yakni PTII di Makassar.
Baca juga: Asal Usul Bacang dan Kicang, Penganan Khas Tionghoa
Pada 1934, PTII mendirikan lembaga pendidikan berbahasa Melayu yang dilengkapi dengan mata pelajaran Islam.
Sekolah itu dibimbing oleh Liem An Shui atau yang akrab disapa Baba Moehamad Mas'oed. Ia adalah peranakan Tionghoa yang bersekolah di Hadrami Surabaya dan Al Irsyad Batavia.