KOMPAS.com - Pertambangan emas skala kecil ataupun besar dinilai telah menyumbang kerusakan lingkungan di sejumlah kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pelepasan residu merkuri dari proses pemurnian emas mencemari sawah, sungai, dan laut. Tidak hanya lingkungan, penggunaan merkuri juga berdampak buruk pada kesehatan manusia, bahkan menyebabkan kematian.
Namun, ribuan warga NTB bergantung hidup pada sektor pertambangan emas skala kecil (PESK). Dodo (36), warga Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, sudah belasan tahun bekerja sebagai penambang emas.
Meski statusnya ilegal, masyarakat seperti Dodo tak gentar bertaruh nyawa, apa pun dilakukan agar bisa mencari nafkah.
Biaya hidup sehari-hari yang kian tinggi membuat Dodo tak memiliki pilihan lain untuk menyambung hidup. Ia hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP).
Pekerjaan yang dilakoni Dodo bukan tanpa bahaya. Zat asam beracun yang berasal dari lubang tambang dan merkuri mengancam nyawa para penambang.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Sumbawa berupaya meminimalisasi pertambangan tanpa izin yang berimbas pada rusaknya lingkungan.
Pemkab mengimbau agar penambang menangguhkan aktivitas pertambangan emas skala kecil (PESK).
PESK dapat menjadi legal asalkan memenuhi persyaratan yang diajukan pemerintah dalam rangka mengurangi penggunaan merkuri.
Lantas, bagaimana upaya pemerintah dalam meminimalisasi penggunaan merkuri dan dampak kerusakan lingkungan yang timbul?
Apakah ada solusi lain agar masyarakat tidak kehilangan sumber penghidupan?
Simak artikel selengkapnya di JEO: Menantang Maut di Lubang Tambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.