KOMPAS.com - Pasca-Perang Dunia II, sejumlah negara Eropa sepakat untuk menjalin kerja sama ekonomi. Setelah berkonflik dan menghadapi krisis, mereka setuju untuk membentuk asosiasi perdagangan.
Dikutip dari DW, pada 9 Mei 1950, Menteri Luar Negeri Perancis saat itu, Robert Schumann, mengusulkan kerja sama di sektor batu bara dan baja dengan Jerman. Kedua negara juga membuka diri terhadap negara lain yang ingin bergabung.
Usulan itu terealisasi setahun kemudian dengan terbentuknya Asosiasi Eropa untuk Batu bara dan Baja atau European Coal and Steel Community (ECSC). Perjanjian ditandatangani di Paris, Perancis, pada 18 April 1951.
Baca juga: Tandingi AS, Uni Eropa Luncurkan Agenda Industri Hijau
Selain Perancis dan Jerman, ada pula Italia, Luksemburg, Belgia, serta Belanda yang ikut bergabung. Inilah organisasi yang menjadi cikal bakal Uni Eropa.
Bentuk asosiasi kemudian berkembang menjadi Masyarakat Ekonomi Eropa atau European Economic Community (EEC), dengan penghapusan bea masuk barang dagangan, beberapa jenis pajak, serta pelonggaran akses orang dan barang.
Banyak negara mulai bergabung. Inggris, Irlandia dan Denmark pada 1973, serta Yunani, Spanyol dan Portugal pada 1980-an.
Setelah itu mereka bertransformasi menjadi Uni Eropa melalui penandatanganan Perjanjian Maastricht, pada 7 Februari 1992.
Uni Eropa sepakat menggunakan satu mata uang, Euro. Secara resmi, isi perjanjian yang menjadi awal Uni Eropa itu mulai berlaku pada 1 November 1993, dan mata uang Euro mulai digunakan pada 2002.
Baca juga: Uni Eropa akan Pulangkan Lebih Banyak Imigran ke Negara Asalnya
Beberapa tahun kemudian, beberapa negara memutuskan menjadi anggota Uni Eropa. Finlandia, Austria, dan Swedia, bergabung pada 1995.
Setelah itu Polandia, Republik Ceko, Slovakia, Hungaria, Slovenia, Estonia, Latvia, dan Lithuania, pada 2004. Selanjutnya Bulgaria dan Rumania bergabung pada 2007, serta Kroasia pada 2013.
Bila dirunut lagi, niat Inggris bergabung ke EEC saat itu mendapatkan pertentangan dari Presiden Perancis Charles de Gaulle.
Gaulle bahkan menggunakan hak veto menuntut Inggris ditolak. Menurutnya, Inggris tetap akan lebih loyal pada Amerika Serikat (AS) dibanding sesama negara Eropa.
Mantan Perdana Menteri Perancis, Edith Cresson, pernah menjelaskan bahwa Gaulle melihat secara formal Inggris memang berniat bergabung, namun akan tetap bersama Amerika.
"Dia (Gaulle) memiliki banyak pengalaman tentang Inggris dan dia selalu berpikir bahwa mereka akan berada di pihak Amerika... Jadi menurut saya dia tidak percaya bahwa mereka akan melakukan permainan (cara) Eropa," kata Cresson.
Baca juga: Banyak Warga Inggris Sekarang Menyesal dengan Brexit
Setelah bergabung pada 1973, Inggris hampir keluar dua tahun kemudian. Namun referendum tahun 1975 itu, menghasilkan 67 persen suara rakyat Inggris ingin tetap berada di EEC.