KOMPAS.com - Hari Anti-sunat Perempuan Internasional diperingati setiap 6 Februari. Peringatan ini diinisiasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya sunat perempuan.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 200 juta perempuan di 30 negara Afrika, Timur Tengah, dan Asia, mengalami pemotongan genitalia.
Praktik sunat perempuan masih dilanggengkan dengan alasan tradisi, agama, hingga mitos yang menyertai.
Padahal secara medis, pemotongan atau pelukaan genitalia adalah praktik yang berbahaya dan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Penting untuk mengetahui apa saja mitos sunat perempuan yang umumnya dipercaya masyarakat, serta membandingkan dengan fakta medisnya.
Organisasi gerakan sosial internasional, Global Citizen, memetakan sejumlah mitos sunat perempuan yang umumnya masih dipercaya masyarakat.
Salah satu mitosnya, sunat perempuan dianggap sudah sesuai prosedur standar. Ada empat praktik sunat perempuan yang selama ini dilakukan, yaitu:
Faktanya, semua prosedur itu dapat meningkatkan komplikasi jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan fisik, mental, dan seksual perempuan.
WHO menegaskan, sunat perempuan tidak memiliki manfaat apa pun dari sudut pandang medis. Hal ini disampaikan oleh Direktur Departemen Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO, Pascale Allotey, pada peringatan Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia 2023.
"Mari perjelas! Sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan hanya membahayakan perempuan dan anak perempuan. Ini adalah pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak mereka," tutur Allotey.
Banyak negara memiliki sejarah kelam kekerasan dan penindasan terhadap perempuan selama berabad-abad. Hal ini membuat ritus dan tradisi memegang peran penting di kehidupan masyarakat.
Di Indonesia, praktik sunat perempuan banyak dialami oleh perempuan di bawah umur.
Laman edukasi UGM mengutip Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 soal angka sunat perempuan. Sebanyak 51 persen perempuan usia 0-11 tahun di indonesia menjalani sunat.
Bahkan, sebanyak 72,4 persen di antaranya menjalani sunat perempuan sejak usia 1-5 bulan.
WHO memetakan, alasan praktik sunat perempuan bervariasi tergantung wilayah dan faktor sosial budaya.
Alasan praktik ini masih dilanggengkan, yakni:
Faktanya, perempuan tetap dapat tumbuh dewasa dan melalui masa akil balik tanpa menjalani sunat.
WHO menggarisbawahi bahwa sunat perempuan tidak memberi satu pun manfaat kesehatan, hanya rasa sakit.
Kendati demikian, masih ada keyakinan bahwa sunat perempuan dapat dilakukan sesuai prosedur medis.
Ada banyak alasan mengapa masih ditemui layanan kesehatan yang menyediakan jasa sunat perempuan, meliputi:
Sejak 2008, WHO menyerukan pencegahan dan penghapusan sunat perempuan.
Salah satu upayanya yakni mengedukasi petugas kesehatan untuk tidak menjalankan praktik tersebut, serta memberikan panduan penanganan kesehatan jika terjadi komplikasi pada korban sunat perempuan.
Mereka yang hidup di lingkaran tradisi sunat perempuan kerap mengalami tekanan sosial jika tidak menjalaninya.
Perempuan sering kali terpaksa melakukannya karena tidak bisa menolak. Sebagian lainnya, merasa melakukan sunat perempuan secara sukarela.
Kendati demikian, ada yang luput diperhatikan, yakni pendidikan seksual.
Penyintas sunat perempuan yang sebagian besar melakukan praktik tersebut ketika masih di bawah umur, seberapa banyak dari mereka yang memiliki pilihan?
Apakah pilihan itu diputuskan secara sadar atas dasar pengetahuan mereka terhadap alat reproduksi, atau tekanan sosial semata?
Dilansir Huffpost, seorang penyintas sunat perempuan Sarian Karim Kamara menceritakan kisahnya ketika disunat pada usia 11 tahun.
Awalnya dia bersemangat. Masyarakat menyelenggarakan pesta, upacara, dan menyajikan musik tradisional.
Namun yang ia alami ketika menjalani sunat perempuan hanyalah kesengsaraan. Ia kesulitan mengalami orgasme bahkan setelah empat tahun aktif secara seksual.
Itu baru satu contoh kasus. Sementara, WHO memperkirakan ada lebih dari 3 juta anak perempuan berisiko menjalani sunat perempuan setiap tahunnya.
Terlepas dari berbagai alasan, seperti ritual, tradisi, dan mitos, praktik sunat perempuan terbukti merugikan.
Sunat perempuan berisiko menimbulkan kerusakan jaringan genital perempuan, serta mengganggu fungsi alami tubuh.
Ada pula peningkatan risiko komplikasi kesehatan jangka panjang yang lebih parah.
Komplikasi langsung yang dapat terjadi karena sunat perempuan meliputi:
Sementara, komplikasi jangka panjang meliputi: