Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desakan Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan Menguat, Penanganan Polisi Jadi Sorotan

Kompas.com - 06/10/2022, 11:52 WIB

KOMPAS.com - Desakan untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan kian menguat. Pada Rabu (5/10/2022), puluhan ribu warganet membagikan tagar #UsutTuntasTragediKanjuruhan di Twitter.

Pengamanan polisi setelah laga Arema FC melawan Persebaya dinilai sebagai penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of power hingga mengakibatkan ratusan orang meninggal.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Malang, terdapat 131 korban jiwa dala  tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) malam.

Baca juga: Gas Air Mata Dilarang untuk Perang, Kenapa Masih Dipakai Polisi Kendalikan Massa?

Penggunaan gas air mata disebut sebagai faktor fatal yang menimbulkan kepanikan penonton sehingga terjadi desak-desakan saat massa berupaya menyelamatkan diri keluar dari stadion.

Namun demikian, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengeklaim penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa sesuai prosedur.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, mengatakan, tragedi di Kanjuruhan harus dituntaskan melalui koridor hukum pidana, tidak hanya dengan sidang etik.

"Selama ini kita lihat banyak sekali tindakan-tindakan kepolisian yang berakhir dengan (sidang) etik. Etik ini kan konteksnya pengawasan internal, sedangkan salah satu perdebatan kita tentang reformasi polisi adalah pengawasan eksternal," kata Erasmus, kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).

Menurut Erasmus, penyelesaian secara etik tidak memiliki akuntabilitas karena sifatnya internal. Sementara, Tragedi Kanjuruhan menyangkut kepentingan publik dan penuntasannya harus akuntabel.

"Kita harus membiasakan polisi itu akuntabel dan ini urusan publik, sehingga harus diselesaikan di ranah publik," ujarnya.

Baca juga: Aremania Tak Serang Pemain, Komnas HAM Pertanyakan Penggunaan Gas Air Mata

Selain itu, Erasmus menegaskan penuntasan Tragedi Kanjuruhan dilakukan untuk memberikan keadilan bagi korban.

"Ranah etik itu tidak melibatkan korban karena itu institusional. Bagaimana caranya korban mendapatkan keadilan? Ya harus dalam ranah hukum pidana," kata Erasmus.

Abuse of power berulang kali

Erasmus mengatakan, tragedi kekerasan terus berulang jika peristiwa di Kanjuruhan gagal diselesaikan melalui ranah hukum pidana.

Data Amnesty International Indonesia menunjukkan, Polri memiliki rekam jejak penggunaan kekerasan berlebihan yang mengakibatkan korban warga sipil.

Pada 2020, Amnesty menghimpun data kekerasan polisi selama aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja antara 6 Oktober sampai 10 November 2020.

Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 411 korban penggunaan kekuatan polisi di 15 provinsi selama aksi demonstrasi berlangsung.

Baca juga: Komnas HAM: Korban Kanjuruhan Meninggal karena Kurang Oksigen dan Gas Air Mata

Organisasi itu juga mencatat 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. Berdasarkan laporan tim advokasi gabungan, 301 di antaranya ditahan tanpa komunikasi dengan berbagai jangka waktu, termasuk 18 jurnalis yang telah dibebaskan.

Menurut Erasmus, rekam jejak Polri selama ini menunjukkan bahwa abuse of power akan selalu berulang selama tidak ada tindakan untuk mengawasi kinerja mereka.

"Jadi kalau ada pertanyaan apakah ini akan terulang, itu sudah. Bukan lagi akan, tapi sudah terulang. Dan kenapa terulang? Karena tidak ada pengawasan," ujar dia.

Tulisan-tulisan kecewa disamping gate 13 pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Selasa (4/10/2022) malam.KOMPAS.com/SUCI RAHAYU Tulisan-tulisan kecewa disamping gate 13 pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Selasa (4/10/2022) malam.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan

Dikutip dari siaran pers, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi merupakan penyebab jatuhnya begitu banyak korban dalam Tragedi Kanjuruhan.

“Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera Tim Gabungan Pencari Fakta," kata Usman.

Peristiwa ini mengingatkan pada tragedi sepak bola serupa di Peru pada 1964. Saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan ke kerumunan massa, sehingga ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.

“Sungguh memilukan 58 tahun kemudian, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata," ujar dia.

Baca juga: Menit-menit Mematikan di Stadion Kanjuruhan, Jeritan Penonton di Tengah Lautan Asap Gas Air Mata

Usman mengatakan, pihaknya menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka.

Akan tetapi, polisi tentunya harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan.

“Akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang," tuturnya.

Adapun pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Stadion Kanjuruhan yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD.

Penyidikan

Diberitakan Kompas.com, Selasa (4/10/2022) Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Presetyo, menyatakan, kasus Tragedi Kanjuruhan sudah masuk tahap penyidikan.

Menurut Irjen Dedi Prasetyo, tim penyidik Tragedi Kanjuruhan sudah memeriksa 29 orang saksi yang terdiri dari 23 anggota Polri dan enam orang panitia penyelenggara yang bertugas di Stadion Kanjuruhan saat kejadian.

Meski demikian, Dedi masih belum bisa memberi kepastian terkait penetapan tersangka Tragedi Kanjuruhan. Sebab, tim penyidik masih membutuhkan waktu untuk mengumpulkan barang bukti sekaligus mendalami keterangan para saksi.

"Kasus ini sudah tahap penyidikan. Kami masih mengumpulkan alat bukti, keterangan saksi dan ahli, serta petunjuk lainnya," kata Dedi, dikutip dari Tribun Jatim.

Baca juga: Kesaksian Aremanita Blora Soal Tragedi Kanjuruhan Malang: Banyak yang Tergeletak di Tangga

"Baru nanti pada saatnya kami akan menetapkan tersangka. Perlu ketelitian dan kehati-hatian sebelum menetapkan tersangka," ujar Dedi.

Lebih lanjut, Dedi menyatakan Kepolisian juga menemukan fakta baru terkait titik lokasi Stadion Kanjuruhan yang diduga menjadi tempat jatuhnya korban terbanyak. Dedi secara khusus menyebut pintu 3, 9, 10, 11, 12, dan 13 Stadion Kanjuruhan.

"Labfor masih mendalami enam titik CCTV. Inafis juga masih melakukan identifikasi di dalam dan luar tempat kejadian perkara," kata Dedi.

"Sembilan orang (anggota Polri) sudah dinonaftifkan. Ini yang kami terus dalami. Update akan terus kami sampaikan khususnya dari tim penyidik," ujar Dedi menambahkan.

Sebelumnya, AKBP Ferli Hidayat sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Malang buntut Tragedi Kanjuruhan.

Sementara, Komnas HAM telah memulai penyelidikan tragedi Kanjuruhan sejak Senin (3/10/2022). Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, kondisi beberapa jenazah korban sangat memprihatinkan.

Selain itu, Komnas HAM juga mencatat indikasi atau dugaan penyebab kematian lewat profil beberapa jenazah yang dihimpun.

Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Gas Air Mata, Pintu yang Terkunci, dan Penonton Melebihi Kapasitas

"Pertama adalah kondisi jenazahnya, banyak yang mukanya biru," kata Anam, dikutip dari keterangan video kepada wartawan, Rabu (5/10/2022).

"Ini yang menunjukkan kemungkinan besar karena kekurangan oksigen karena juga gas air mata. Jadi muka biru, terus ada yang matanya merah, keluar juga busa," tutur dia.

Temuan ini menguatkan pengakuan dan pernyataan banyak pihak yang menyebutkan bahwa kericuhan terjadi sejak polisi menembakkan gas air mata ke tribune penonton.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan itu membuat para suporter berlarian menyelamatkan diri.

"Jadi, teman-teman, khususnya keluarga, Aremania, maupun relawan yang menangani jenazah, memberikan informasi terkait hal tersebut. Wajahnya biru, banyak yang wajahnya biru, mata merah, keluar busa dan sebagainya," kata Anam.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

[HOAKS] Erick Thohir Permalukan Anies Baswedan di Acara Televisi

[HOAKS] Erick Thohir Permalukan Anies Baswedan di Acara Televisi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Koalisi Perubahan Telah Deklarasikan Khofifah sebagai Cawapres

[HOAKS] Koalisi Perubahan Telah Deklarasikan Khofifah sebagai Cawapres

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Ledakan Bendungan Nova Kakhovka pada November 2022

[KLARIFIKASI] Video Ledakan Bendungan Nova Kakhovka pada November 2022

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Deklarasikan Dukungan kepada Anies Baswedan

[HOAKS] Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Deklarasikan Dukungan kepada Anies Baswedan

Hoaks atau Fakta
Video Ramainya Masjid Nabawi Bukan Momen Haji, tapi Idul Fitri 2023

Video Ramainya Masjid Nabawi Bukan Momen Haji, tapi Idul Fitri 2023

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Jokowi Lantik Anies Baswedan Gantikan Johnny G Plate

[HOAKS] Jokowi Lantik Anies Baswedan Gantikan Johnny G Plate

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Menilik Sejarah dan Perkembangan Permainan Tetris

INFOGRAFIK: Menilik Sejarah dan Perkembangan Permainan Tetris

Sejarah dan Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks! Kejagung Tetapkan Gubernur Lampung Tersangka Kasus Korupsi

INFOGRAFIK: Hoaks! Kejagung Tetapkan Gubernur Lampung Tersangka Kasus Korupsi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Mahfud MD Sebut Sri Mulyani Aktor Utama di Balik Korupsi BTS 4G

[HOAKS] Mahfud MD Sebut Sri Mulyani Aktor Utama di Balik Korupsi BTS 4G

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Mobil Masuk Kolong Truk untuk Kabur dari Polisi

[HOAKS] Video Mobil Masuk Kolong Truk untuk Kabur dari Polisi

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Tarif Parkir Terbaru DKI Jakarta Rp 60.000 Per Jam

[KLARIFIKASI] Tarif Parkir Terbaru DKI Jakarta Rp 60.000 Per Jam

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Pernyataan Angkatan Udara AS soal Drone AI Bunuh Operatornya

[KLARIFIKASI] Pernyataan Angkatan Udara AS soal Drone AI Bunuh Operatornya

Hoaks atau Fakta
Kilas Balik Laga Timnas Indonesia Vs Belanda pada 7 Juni 2013

Kilas Balik Laga Timnas Indonesia Vs Belanda pada 7 Juni 2013

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Neil Armstrong Mualaf

[HOAKS] Neil Armstrong Mualaf

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Akun Facebook Jusuf Hamka Tawarkan Hadiah Uang

[HOAKS] Akun Facebook Jusuf Hamka Tawarkan Hadiah Uang

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com