KOMPAS.com - Ketakutan dan kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) masih mengakar di masyarakat. Salah satu penyebabnya, Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S di mana PKI dituduh sebagai pelaku pembunuhan para jenderal.
Narasi tentang kekejaman PKI terus didengungkan, misalnya melalui film Pengkhianatan G 30 S PKI yang muncul pada masa Orde Baru. PKI digambarkan sebagai kelompok yang membunuh para jenderal dengan sadis.
Meski Orde Baru telah tumbang, namun narasi tersebut seakan terus direproduksi. Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ahmad Sajali berpandangan, butuh upaya yang cukup besar untuk menghilangkan sentimen tersebut.
Baca juga: Sejarah Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden yang Terlibat G-30-S
Menurut Sajali, banyak narasi yang perlu dicek kebenarannya terkait PKI versi Orde Baru, seperti soal penyiksaan para jenderal yang disebut dimutilasi sebelum dibunuh oleh orang-orang PKI.
“Misalkan laporan hasil visum para korban dewan jenderal yang tidak ditemukan narasi-narasi penyiksaan. Itu sudah dirilis sama pusat informasinya ABRI di hari itu yang juga tercantum di beberapa riset peneliti terkemuka seperti Ben Anderson,” ujar Sajali kepada Kompas.com, Kamis (29/9/2022).
Sajali menuturkan, sampai saat ini negara belum mengungkap fakta terkait peristiwa G30S, sehingga sentimen terhadap PKI terus berembus. Hal ini berakibat pada munculnya praktik perampasan buku maupun pembubaran diskusi terkait isu tersebut.
“Itu reaksi yang muncul karena negara enggak hadir untuk mengungkapkan fakta. Kalaupun misal Letkol Untung bahkan Aidit, kalau benar adanya menjadi otak di balik pembunuhan dewan jenderal, sebenarnya itu pertanggungjawabannya kepada individu,” katanya.
Baca juga: Film Pengkhianatan G30S PKI dan Rekayasa Sejarah
Selain karena kurangnya referensi sejarah, Sajali menduga isu PKI kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Seolah semua hal yang ingin dihilangkan dari kehidupan sosial politik Indonesia harus menggunakan stigma atau dituduh PKI terlebih dahulu.
Ia mencontohkan peristiwa yang dialami aktivis lingkungan asal Banyuwangi, Heri Budiawan alias Budi Pego, yang dituduh komunis pada tahun 2017 karena menolak tambang emas di kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.
Seperti ditulis Kompas.com sebelumnya, Budi Pego merupakan salah satu orang yang paling keras menolak tambang emas milik anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold.
“Misal kita pernah menjumpai kasus Budi Pego seorang petani di Banyuwangi, dicap PKI dan sebagainya. Dan itu akan selalu menjadi pilihan 'kartu as' di sistem sosial politik kita selama enggak dibenahi,” ujar Sajali.
Tuduhan sebagai keturunan atau anak dari anggota PKI juga pernah dialami Presiden Joko Widodo. Isu ini kerap muncul menjelang kontestasi politik, bahkan tudingan tersebut beredar di media sosial.
Menurut Sajali, tuduhan itu muncul karena ada perspektif yang salah tentang PKI. Terlebih lagi negara tidak pernah tuntas dalam mengungkap fakta terkait G30S.
“Karena enggak ada sosialisasi dan pengungkapan fakta dari negara sehingga dibiarkan narasi-narasi salah itu terus berkembang ini menjadi senjata makan tuan sendiri. Sehingga dalam konteks dan konflik apa pun, isu PKI itu akan sangat bisa dipakai,” katanya.
Baca juga: Dampak Peristiwa G30S bagi Bangsa Indonesia
Ia menilai selama ini respons yang diberikan Jokowi terkait PKI sering kali tidak tepat. Salah satunya pada 2017 ketika Jokowi mengatakan akan "menggebuk" PKI dibandingkan menjelaskan bahwa dia bukan orang PKI.
“Dan akhirnya Presiden Jokowi aja kita sayangkan juga dia kalah sama tuduhan orang-orang bahwa dia anak PKI bahkan dipertanyakan siapa bapaknya dia dan lain-lain. Dan respons dari dia (Jokowi) justru memukul mundur, bahwa dia akan gebuk PKI dan lain-lain, alih-alih menjelaskan fakta bahwa dia bukan afilisiasi PKI,” terang Sajali.
Di sisi lain, Sajali menilai, upaya rekonsiliasi terhadap tragedi 1965-1966 cenderung bersifat sporadis dan insidental. Menurutnya, negara tidak pernah serius dan tuntas dalam menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut.
“Kita pernah lihat ada fenomena misalnya pasca peradilan International People's Tribunal atas peristiwa 65 di tahun 2015 di Den Hag, itu langsung kebakaran jenggot dan merespons dengan adanya simposium nasional yang mengundang pihak penyintas, TNI dan sebagainya. Yang akhirnya direspons balik dengan pihak-pihak yang tidak setuju dengan aktivitas itu,” kata Sajali.
Baca juga: Simposium Nasional Tragedi 1965: Sebuah Jalan Menuju Rekonsiliasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.