KOMPAS.com - Pemilu Serentak 2024 akan berlangsung kurang dari dua tahun, dengan diawali pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 14 Februari.
Pers sebagai pilar keempat demokrasi kembali dituntut terlibat aktif dalam pesta demokrasi itu. Namun, beberapa isu masih menjadi persoalan.
Masyarakat diprediksi masih menghadapi hoaks yang masih banyak beredar, langkah politikus yang membentuk polarisasi, aktifnya buzzer atau pendengung, hingga kepercayaan publik pada pers.
Hal itu menjadi bagian yang dibahas di dua panel diskusi dalam Trusted Media Summit 2022 yang digelar Google News Initiative (GNI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, di Sanur, Bali, Rabu (21/9/2022).
Baca juga: Hoaks Capres Muncul meski Pemilu Masih Lama, Dinilai Ganggu Sehatnya Demokrasi
Kepada Kompas.com, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan, kebutuhan masyarakat terhadap informasi semakin tinggi, saat terjadi krisis kesehatan maupun saat pemilu.
Dalam kondisi itu masyarakat akan mencari informasi dari berbagai sumber, misalnya untuk mengenal para calon peserta pemilu, dan memahami pilihannya.
Menurut Ika, pers memiliki tanggung jawab untuk mengabarkan rekam jejak para calon, karya jurnalistik, kemampuan, hingga gagasan yang dimilikinya untuk kepentingan publik.
Pers juga harus menghindarkan masyarakat dari kampanye hitam, misalnya berupa penggunaan isu agama minoritas, etnis minoritas, atau kelompok minoritas lain.
"Kemudian media bisa melaporkan apa sih gagasan-gagasan para calon itu. Apa yang harus dilakukan untuk meng-handle atau menjawab berbagai masalah yang ada di masyarakat, terkait isu hak asasi manusia misalnya, isu lingkungan, isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik," kata Ika.
Baca juga: Bawaslu Tekankan Pentingnya Literasi Digital Jelang Pemilu 2024