KOMPAS.com - Pelabelan hoaks selama ini dilakukan oleh pihak independen, seperti media dan komunitas. Lantas apa jadinya pelabelan ini dilakukan oleh pemerintah terhadap karya jurnalistik?
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Sasmito Madrim menilai, pelabelan hoaks oleh pemerintah rentan akan sensor dan tidak obyektif.
Menurut dia, berdasarkan sumbernya, sebaran hoaks selama ini dibedakan ke dalam dua kategori berdasarkan sumber.
"Karena sumbernya hoaks itu ada dua, satu dari non-negara, satu dari negara. Berangkat dari situ, kami menilai pemerintah tidak bisa obyektif dalam melakukan verifikasi fakta," kata Sasmito kepada Kompas.com, Jumat (1/7/2022).
Pada Jumat (1/7/2022) lalu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memperingati Hari Bhayangkara ke-76.
Nama Bhayangkara sendiri diambil dari pasukan pengamanan patih Gadjah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit. Tugasnya, tentu saja, melindungi raja dan kerajaan.
Institusi ini kemudian berkembang seiring kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga sekarang.
Tugas utamanya yakni menjaga keamanan, ketertiban, menegakkan hukum, dan melayani masyarakat.
Namun, belakangan terjadi upaya sensor dengan memberi label hoaks pada media oleh institusi kepolisian.
Berdasarkan Catatan Tahunan AJI 2021, ada tiga kasus di empat media berbeda yang mendapat label hoaks dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Ketiga kasus tersebut meliputi:
Melihat tiga kasus tersebut, Sasmito melihat pola pelabelan dilakukan pada pemberitaan yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah dan Polri.
"Mungkin yang dianggap mengkritik atau membuat posisi pemerintah dalam posisi yang tidak baik gitu ya. Kayak misalkan di Yogya, kesannya itu kan pemerintah tidak melakukan penanganan tidak baik, terus kemudian distempel," ujarnya.
Kasus paling kentara yakni yang dialami Project Multatuli, di mana mengungkap kebobrokan dalam pelayanan Polri.
Tindakan pelabelan hoaks kepada produk jurnalistik, menurut Sasmito, akan membuat kebingungan di masyarakat.