KOMPAS.com - Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden telah diputuskan akan digelar pada 14 Februari 2024.
Pada tanggal tersebut, juga akan digelar pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD RI.
Dengan penetapan tanggal tersebut, maka perhelatan Pemilu 2024 kini tinggal menyisakan waktu kurang dari dua tahun sebelum akhirnya terlaksana.
Berkaca dari penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, perhelatan pesta demokrasi justru menjadi momentum penyebaran hoaks yang luar biasa masif.
Banjir informasi menyesatkan pada akhirnya memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat, yakni terciptanya polarisasi dan terpecahnya keutuhan bangsa Indonesia.
Baca juga: Risiko Kampanye Pemilu di Media Sosial
Upaya mengantisipasi dampak buruk dari masifnya penyebaran hoaks saat Pemilu 2024 tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau satu organisasi saja.
Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang tergabung dalam CekFakta.com berupaya menggalang kolaborasi untuk menangkal hoaks saat Pemilu 2024.
Langkah kolaborasi ini dimulai dengan menghadirkan diskusi publik bertajuk "Kolaborasi Menangkal Hoaks Menjelang Pemilu 2024" yang disiarkan di kanal YouTube AJI Indonesia pada Kamis (17/2/2022).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengatakan, Pemilu 2024 akan menjadi pemilu yang jauh lebih kompleks dari sebelumnya.
Ia beralasan, perhelatan pesta demokrasi yang akan datang akan sangat terpengaruh oleh residu atau sisa-sisa polarisasi yang tercipta selama lima tahun terakhir.
"Itu (polarisasi) salah satu lahan subur untuk hoaks, untuk disinformasi-misinformasi," kata Wahyu saat berbicara dalam diskusi tersebut.
Menurut Wahyu, salah satu tantangan besar yang akan dihadapi para pemeriksa fakta dan publik adalah makin canggihnya produksi hoaks.
"Misalnya dengan teknologi deepfake, di mana orang bisa seolah-olah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan sebelumnya, tapi dibuat oleh mesin," ujar Wahyu.
"Misalnya ada pernyataan menteri atau politisi berpotensi memicu ujaran kebencian atau memicu konflik horizontal di publik, itu bisa saja (terjadi) kalau tidak cepat diantisipasi, menjadi viral, dan memicu persoalan," tuturnya.
Baca juga: Berita Palsu Jurnalis Stephen Glass dan Pentingnya Kerja Pemeriksa Fakta...