KOMPAS.com - Data menunjukkan, maraknya pengguna aktif media sosial di Indonesia, tidak diimbangi dengan literasi digital.
Hal ini tercermin dari survei Litbang Kompas pada akhir Januari 2022.
Berdasarkan survei dari 1.014 responden di 34 provinsi, hampir separuhnya tidak menyadari pentingnya keamanan data pribadi dalam aktivitas digital.
Sebanyak 46,5 persen responden tidak tahu dan tidak menyadari aktivitas daring, seperti browsing, belanja, dan aktivitas di media sosial lainnya, merupakan sumber data yang penting.
Baca juga: Kenali Ciri Akun Medsos Resmi, agar Tidak Mudah Terjebak Hoaks
Berikut beberapa perilaku digital yang dianalisis dalam jajak pendapat tersebut:
Pengetahuan soal pentingnya data pribadi, memegang peran penting dalam upaya perlindungan keamanan digital masyarakat.
Di era digitalisasi, data pribadi menjadi tambang emas yang apabila bocor akan mengakibatkan risiko tidak terhingga. Mulai dari kerugian finansial, sampai psikis.
Baca juga: The Tinder Swindler dan Kepopuleran Dating Apps...
Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, mencatat setidaknya ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial.
Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial.
Dengan jumlah pengguna media sosial sebanyak itu, tidak semua pengguna 'beradab'.
Pada April-Mei 2020, Microsoft mengukur keberadaban digital masyarakat dalam Digital Civility Index.
Microsoft menganalisis perilaku digital dari 16.000 responden di 32 negara, termasuk Indonesia.
Tercatat, Indonesia berada di peringkat 29 dengan skor 76, di mana semakin tinggi skor semakin rendah keadaban digitalnya.
Terdapat dua faktor risiko paling memengaruhi keberadaban masyarakat Indonesia di ranah digital.
Pertama, risiko instrusif yang terkait munculnya kontak yang tidak diinginkan, hoaks, spam, fraud, hate speech, dan diskriminasi.
Kedua, risiko behavioral atau perilaku, seperti perlakuan kasar, memancing kemarahan, misogyny, rekrutmen terorisme, kekerasan online, mikroagresi, dan perundungan siber.
Perilaku di atas menggiring pada maraknya kejahatan di dunia digital.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatatkan, ada lebih dari 888,7 juta kasus serangan siber yang terjadi pada Januari- Agustus 2021.
Pada akhir 2021, jumlahnya meningkat mencapai 1,6 miliar serangan siber. BSSN juga melaporkan terjadi 5.574 kasus peretasan sepanjang 2021.
Untuk membangun ekosistem siber yang sehat, tidak hanya dibutuhkan kesadaran masyarakat, tetapi juga regulasi yang menaunginya.
Di Indonesia sendiri, belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai keamanan dan perlindungan data pribadi.
Ada Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP), tetapi hingga kini belum kunjung disahkan.
Sebanyak 66,3 persen dari responden Litbang Kompas menganggap bahwa RUU PDP penting untuk segera disahkan.
Sebagian besar menganggap unrang-undang ini penting untuk memberikan jaminan terhadap perlindungan data pribadi.
Sebenarnya, RUU PDP masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 tetapi pembahasannya tak kunjung selesai.
Dilansir dari Kompas.com, 23 Desmber 2021, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengatakan, pembahasan RUU PDP masih dalam proses.
"Prosesnya berjalan. Memang seperti diketahui kita semua saat ini yang namanya RUU Perlindungan Data Pribadi sudah masuk kepada prioritas lagi. Dari DPR sudah ditetapkan akan pembahasan, sudah menunggu undangan rapat," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani, Rabu (22/12/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.