KOMPAS.com - Mahasiswa yang turun ke jalan pada 15 Januari 1974, tidak ada yang menyangka hari itu akan menjadi malapetaka. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan "Malapetaka 15 Januari 1974" atau Malari.
Ribuan mahasiswa yang dipimpin Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Hariman Siregar, menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah tempat di Jakarta.
Mereka melakukan long march dari Kampus UI di Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat.
Pengabaian kepentingan rakyat oleh penguasa, mendorong gerakan mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut perubahan.
Di hadapan rezim Orde Baru, mereka menyatakan sikap menolak masuknya investasi asing yang berpotensi membuka celah korupsi di pemerintahan, serta berdampak buruk bagi lingkungan dan hak asasi manusia.
Baca juga: Peristiwa Malari 1974, Benarkah Aksi Mahasiswa Jadi Pemicu Kerusuhan?
Dengan landasan itu, Hariman Siregar dan ribuan massa aksi lainnya menentang kebijakan modal asing yang tidak berpihak pada rakyat.
Sayangnya, gerakan itu disusupi pihak luar sehingga terjadi kerusuhan, kekerasan, dan penjarahan.
Tercatat, sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Imbasnya, Hariman dijebloskan ke dalam penjara. Diberitakan Harian Kompas, 23 Desember 1974, Hariman dinyatakan melakukan tindak pidana subversi. Dia dituduh sebagai dalang di balik peristiwa Malari.
Hariman akhirnya menjalani penjara sekitar dua tahun enam bulan. Namun, dalam proses itu, ayah dan anak kembarnya meninggal, sedangkan istrinya menderita sakit.
Baca juga: Mengenang Malari, Saat Mahasiswa Melawan Rencana Investasi Soeharto
Kekelaman peristiwa Malari menutupi apa yang sebenarnya ingin disuarakan oleh mahasiswa saat itu.
Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah mempermudah para pengusaha melakukan investasi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Itu adalah undang-undang yang dikeluarkan, segera setelah Soeharto menjabat sebagai presiden.
Kaum intelektual, yang diwakili oleh para mahasiswa dan pelajar, melihat kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan dampak kerusakan alam dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di balik investasi besar-besaran.
Berlandaskan itu, mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974.
Mereka menuntut pemerintah menurunkan harga bahan pokok, membubarkan lembaga asisten presiden (aspri), dan melakukan penegakan hukum terhadap koruptor-koruptor.
Baca juga: Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?
Peristiwa Malari terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk kepentingan investasi Jepang di Indonesia.
Melansir Harian Kompas, 18 Januari 2014, mahasiswa berencana menyambut kedatangan Tanaka dengan melakukan aksi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara.
Namun PM Jepang berangkat tidak dengan mobil, melainkan diantar Soeharto menggunakan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Para mahasiswa dan pelajar pun membakar patung menyerupai PM Jepang Kakuei Tanaka. Lalu mereka menuju ke Istana Kepresidenan.
Penolakan kunjungan PM Jepang saat itu dipicu oleh investasi asing yang dengan mudahnya masuk dan melimpahnya produk-produk Jepang di Indonesia.
Dilansir dari Harian Kompas, 16 Januari 1974, meski dibayangi aksi demonstrasi besar-besaran, pertemuan Presiden Soeharto dengan PM Tanaka berjalan lancar di Istana Kepresidenan.
Prof Aiko Kurasawa, sejarawan sekaligus pemerhati pemerintahan Jepang-Indonesia, berpendapat bahwa peristiwa Malari berdampak besar terhadap sikap pemerintahan dan masyarakat Jepang terhadap Indonesia.
Ini jadi pelajaran bagi politik luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Setelah peristiwa itu, ada banyak kerjasama dalam bentuk pertukaran budaya, studi Indonesia yang terabaikan pasca-Perang Dunia II juga mulai berkembang setelah Malari.
Kendati demikian, tidak ada perubahan kebijakan mendasar terkati investasi, penanaman modal asing, atau perancangan pembuatan mobil nasional saat itu.
Pembubaran aspri memang jadi salah satu tuntutan mahasiswa saat itu.
Latarnya, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kompkamtib) Sumitro dan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Mayjen Ali Moertopo merupakan dua jenderal yang kerap adu kepentingan politik di masa pemerintahan Soeharto.
Setelah Peristiwa Malari, sejumlah langkah diambil Soeharto. Diberitakan Harian Kompas, 29 Januari 1947, Sumitro dicopot dari posisinya sebagai Panglima Kompkamtib.
Kemudian, lembaga asisten pribadi presiden (aspri) dibubarkan dan Ali Moertopo yang ada di dalamnya dipindahkan ke Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Sayangnya, tidak ada itikad dari pemerintah untuk mengindahkan tuntutan lainnya mengenai penurunan harga bahan pokok dan pemberantasan korupsi.
Pengusutan akar kerusuhan dan pelanggaran HAM yang terjadi di balik peristiwa Malari juga belum tuntas.
Hingga kini, masih banyak hal yang belum jelas terkait Peristiwa Malari, misalnya terkait penggerak kerusuhan dan kaitannya dengan konflik elite politik saat itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.