KOMPAS.com - Hoaks yang berkembang di tengah masyarakat menjadi penghambat penanganan pandemi Covid-19.
Sejak pertama kali terdeteksi pada 2019, virus SARS-CoV-2 masih menjadi permasalahan serius di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Epidemiolog berpendapat bahwa kekeliruan informasi atau hoaks, jadi salah satu faktor mengapa pandemi tak kunjung usai atau beralih menjadi endemi.
Kekeliruan informasi itu bahkan menjadi masalah besar di tengah pandemi, yang kerap disebut infodemik.
Baca juga: Kominfo: Hoaks Seputar Covid-19 Mengancam Keselamatan Jiwa Masyarakat
Menurut epidemiolog sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 RS UNS, Tonang Dwi Ardyanto, hoaks yang berkembang di masyarakat menjadi beban karena semakin memicu rasa tidak percaya terhadap hal ilmiah atau sains.
Masyarakat menjadi tidak taat protokol kesehatan (prokes) karena termakan informasi keliru.
"Sudah pasti menjadi beban. Karena menjadikan keengganan berpartisipasi aktif menjaga prokes dan mendorong ketidak percayaan terhadap otoritas ilmiah maupun otoritas kewenangan pemerintahan," kata Tonang, kepada Kompas.com, Kamis (13/1/2022).
Tonang menyarankan, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk melawan narasi hoaks adalah dengan menyebarkan informasi yang benar.
"Edukasi terus menerus, tidak pernah berhenti. Tidak perlu menanggapi setiap hoaks, tapi membanjiri dengan informasi pembanding yang teruji validitasnya," ujar dia.
Baca juga: Epidemiolog Bantah Hoaks yang Beredar soal Booster Vaksin Covid-19 Setiap 6 Bulan
Hal serupa juga disampaikan oleh Epidemiolog Indonesia untuk Griffith University Australia, Dicky Budiman saat dihubungi terpisah.
Menurut dia, hoaks tentang virus sudah berkembang sejak zaman dahulu. Misalnya, menyebut penyakit yang disebabkan oleh virus sebagai kutukan dan dikaitkan dengan hal superanatural.
Di masa sekarang, teori konspirasi atau penyebaran informasi keliru seputar pandemi disebut infofemik.
"Teori konspirasi dan infodemik ini ada karena sifat manusia yang tidak mau terganggu zona nyamannya," ucap Dicky, Kamis.
Zona nyaman yang ia maksud ialah kebebasan masyarakat dalam beraktivitas di sektor terganggu akibat adanya pandemi.
"Semakin lama pandemi terjadi, orang yang menolak ini semakin banyak kalau tidak ada upaya yang memadahi oleh pemerintah untuk memberikan literasi," kata dia.