KOMPAS.com - Sejumlah hoaks terkait obat diabetes beredar di media sosial dengan mencatut logo media massa, pejabat negara, hingga praktisi kesehatan.
Misalnya, hoaks soal Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan yang disebut-sebut mempromosikan jenis obat diabetes tertentu. Obat ini diklaim mampu menurunkan kadar gula darah dalam tiga hari.
Ada pula hoaks yang menyebutkan air rebusan genjer sawah dapat menurunkan kadar gula darah penderita diabetes.
Kemudian, hoaks yang mencatut CNN Indonesia soal penemuan produk pengganti insulin oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Selanjutnya, hoaks soal foto halaman depan Harian Kompas edisi 24 September 2022. Pada unggahan tersebut terdapat foto Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dengan judul artikel membahas bahan alami yang memiliki kandungan musuh utama diabetes.
Lantas, bagaimana cara memilih obat diabetes yang aman untuk dikonsumsi pasien?
Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blambangan, Banyuwangi, Ari Kurnianingsih menjelaskan, Indonesia memiliki banyak tanaman obat-obatan yang memiliki efek penyembuhan terhadap tubuh manusia.
Namun, untuk memproduksi dan mengedarkan obat diperlukan proses uji klinis dan serangkaian uji lainnya. Proses ini untuk menjamin dampak penyembuhan obat setelah dikonsumsi.
Ia mengatakan, obat yang dijual di rumah sakit atau apotek serta yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dipastikan telah lulus uji klinis.
Secara umum obat yang telah lulus uji oleh Foods and Drug Administration (FDA), Amerika Serikat, akan mudah mendapatkan persetujuan di badan perizinan obat negara-negara lain.
"Sementara obat-obat yang tanpa uji klinis kekuatan kepastian klaimnya (bisa menyembuhkan) itu berasal dari mana? Kalau yang seperti ini seharusnya masyarakat bersikap kritis, untuk tidak mudah percaya," kata Ari, saat dihubungi, Sabtu (1/10/2022).
Pilih obat berdasarkan kasus
Ari mengatakan, pemberian obat terhadap pasien diabetes harus dilakukan dengan memeriksa kondisi kesehatan terlebih dahulu, termasuk penyebab munculnya diabetes.
Diabetes bisa disebabkan pankreas tidak memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup, bisa juga insulin sudah cukup, namun tidak beredar secara lancar di dalam tubuh.
Dengan demikian, pasien harus mendapatkan obat yang tepat berdasarkan hasil pemeriksaan.
"Jadi tidak bisa digeneralisasi. Kalau pada obat-obat yang ditawarkan di media sosial dan sebagainya, itu selain iklannya sangat bombastis, dan di sana ada proses generalisasinya, itu sangat berbahaya," kata Ari lagi.
Opsi obat herbal
Selain itu, Ari menjelaskan, ada juga opsi mengonsumsi obat yang berasal dari bahan-bahan alami. Obat ini dikelompokkan oleh BPOM sebagai jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka.
Keputusan Kepala BPOM nomor HK. 00.05.4.2411, menyatakan, produsen harus mengelompokkan obat tersebut berdasarkan cara pembuatan, klaim efek penggunaan, dan tingkat pembuktian khasiatnya.
Produk pada kelompok jamu harus disertai logo lingkaran hijau dan pohon tegak dengan delapan lembar daun, obat herbal terstandar berlogo lingkaran hijau dan tiga jari-jari daun, sementara fitofarmaka berupa lingkaran hijau dengan satu jari-jari daun.
Dilansir dari situs resminya, BPOM bisa memberikan izin edar untuk fitofarmaka setelah lulus uji pra-klinik pada hewan dan uji klinik pada manusia.
"(Obat berlogo fitofarmaka) nah, itu berarti sudah melalui proses pengujian, kalau belum ada yang seperti itunya, belum ada logonya, berarti klaim-klaim saja yang diajukan," ucap Ari.
BPOM telah mengeluarkan izin edar untuk 26 obat tradisional golongan fitofarmaka, sampai Juni 2021, yang pembuatannya telah mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Obat-obat yang telah terdaftar di Badan POM bisa dicek di situs resmi cekbpom.pom.go.id dengan nomor registrasi, nama produk, merk produk, hingga pihak yang mendaftarkan produk itu.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/10/05/122124182/jangan-teperdaya-promosi-obat-diabetes-harus-lulus-uji-klinis-bpom