Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelam dan Janggal: Peristiwa Lubang Buaya G30S di Mata Kiai dan Dokter

Kompas.com - 03/10/2021, 17:00 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

KOMPAS.com - Tanggal 30 September menjadi penanda sejarah berdarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pemaknaan yang beragam terhadap peristiwa Gerakan 30 September (G30S), mulai menyeruak seiring munculnya suara dari para saksi sejarah.

Salah satunya ialah Ketua Umum Yayasan Nurul Ibad, Kiai Muhammad Syakrim. Ia tinggal di Kelurahan Lubang Buaya, yang menjadi lokasi pembunuhan dan penemuan jenazah 7 jenderal TNI Angkatan Darat di era Presiden Soekarno.

Gambaran peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 tersebut, masih begitu membekas. Di mata pria berusia 87 tahun itu, G30S sungguh kelam.

"Peristiwa G30S/PKI itu kelam, ya kelam," ujar Syakrim ketika ditemui Kompas.com di kediamannya di Kelurahan Lubang Buaya, Jumat (1/10/2021).

Namun Syakrim, begitu ia biasa dipanggil, bisa merasakan ada aktivitas yang tak biasa di lingkungannya jauh sebelum peristiwa G30S terjadi.

Baca juga: Menelusuri Peristiwa G30S/PKI di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya

Latihan bersama yang mencurigakan di mata kiai

Tokoh agama di Lubang Buaya, Jakarta Timur, yang menjadi saksi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) Foto diambil pada Jumat (1/10/2021).KOMPAS.com/AHMAD NASRUDDIN YAHYA Tokoh agama di Lubang Buaya, Jakarta Timur, yang menjadi saksi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) Foto diambil pada Jumat (1/10/2021).

Sebagai warga asli Lubang Buaya, Syakrim punya firasat dalam membaca situasi yang tak biasa di sekitar tempat tinggalnya.

Jauh sebelum peristiwa G30S terjadi, ia mengamati perubahan aktivitas warga di sana. Terutama saat sebuah wilayah di dekat Bandara Halim Perdanakusuma yang semula begitu sunyi, perlahan menjadi ramai.

Di jalanan, ia kerap melihat sejumlah truk mondar-mandir yang memasuki wilayah Lubang Buaya, yang kemudian menurunkan sejumlah pemuda. Pergerakan truk ini berlangsung siang dan malam.

Belakangan, diketahui bahwa para pemuda yang diturunkan dari truk tersebut ternyata bukanlah warga asli Lubang Buaya atau sekitarnya.

Mulanya Syakrim sama sekali tak menaruh kecurigaan terhadap aktivitas para pemuda tersebut. Namun lama-kelamaan, kecurigaannya muncul.

Itu terjadi ketika ia tahu bahwa para pemuda tersebut ternyata menjalani sebuah latihan di dekat rumah teman seangkatannya di Sekolah Rakyat, yang diketahui merupakan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca juga: Asal-usul Nama Lubang Buaya yang Jadi Tempat Pembuangan Jasad 7 Pahlawan Revolusi Saat G30S/PKI

Syakrim semakin curiga ketika puluhan warga di wilayahnya diajak untuk turut serta mengikuti kamp latihan bersama para pemuda tersebut.

Puluhan warga ini kemudian meminta pendapat kepada dirinya sebagai tokoh agama di wilayah itu perihal ajakan para pemuda tersebut.

Saat itu, Syakrim meminta agar mereka tak menerima ajakan untuk mengikuti latihan bersama mereka. Ia berargumen, pelatihan ala militer semustinya berpusat di Halim Perdanakusuma yang merupakan pangkalan udara milik TNI Angkatan Udara, bukan di Lubang Buaya.

"Sebetulnya latihan kan biasanya di Halim, kok beda latihannya, saya minta mereka jangan ikut," kata Syakrim yang saat itu telah menjadi tokoh warga di wilayahnya.

Kecurigaan inilah yang menjadi dasar agar puluhan warga tersebut tak bergabung dalam pelatihan kelompok tersebut. 

Di kemudian hari, diketahui bahwa ajakan yang dilakukan pemuda tersebut berkaitan dengan aktivitas PKI.

Ditodong saat ke lokasi, saksikan jenazah para jenderal sudah terbujur kaku

 

Pada saat terjadi Gerakan 30 September, Syakrim mengaku melihat sejumlah jenazah dimasukkan ke dalam sumur.

Namun, dia tidak melihat cukup jelas lantaran terlanjut ditodong sejumlah Pemuda Rakyat, yang terafiliasi dengan PKI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com