Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nur Syamsiyah
Dosen

Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga; meneliti tentang masyarakat digital.

Vigilantisme Digital, Antara Bentuk Perlawanan dan Bahaya yang Mengintai

Kompas.com - 02/06/2023, 11:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI era digital, media sosial telah memberikan platform yang kuat bagi netizen Indonesia untuk menyuarakan pendapat hingga memobilisasi opini publik. Akan tetapi, kemudahan bersuara dan beropini tersebut memunculkan fenomena baru, yaitu vigilantisme digital.

Berbagai contoh vigilantisme digital yang dilakukan netizen, misalnya, dapat ditemukan dalam beberapa utas yang membahas kasus tindakan kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan Mario Dandy. Terpicu oleh berita Mario Dandy melakukan kekerasan pada D yang pertama kali mencuat di Twitter pada Februari 2023, banyak netizen menjadi “detektif” dadakan dan membagikan informasi-informasi yang mereka ketahui terkait kronologi penganiayaan tersebut.

Baca juga: Ramai soal Komentar Ingin Dilecehkan di Media Sosial, Ini Kata Psikolog

Sebagian netizen bahkan membeberkan informasi terkait identitas dan latar belakang tersangka pelaku yang merupakan anak pejabat eselon II di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, yaitu Rafael Alun Trisambodo. Netizen juga mengulik kepemilikan harta dan kekayaan Rafael yang dianggap mencurigakan, hingga akhirnya Rafael ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Dalam berbagai utas di Twitter yang berkaitan dengan kasus tersebut, dapat ditemukan bermacam-macam bentuk hujatan dan kecaman para netizen. Sebagian netizen juga melakukan doxing atau penyebarluasan identitas pribadi tersangka pelaku.

Baru-baru ini, seorang selebtwit bahkan mengadakan sayembara bagi netizen yang bisa memberi bukti apabila ditemukan perlakuan istimewa bagi Mario Dandy di penjara.

Tindakan semacam itu sebetulnya bukan kali pertama dilakukan netizen Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya, netizen juga meramaikan ruang maya Twitter terkait berita kepemilikan harta beberapa pejabat daerah yang dianggap tidak masuk akal. Berbagai hujatan, kecaman, dan penghakiman dilayangkan netizen kepada mereka.

Aksi netizen dalam merespon tindakan kejahatan semacam ini dapat dikatakan sebagai vigilantisme digital.

Daniel Trottier, dalam artikel berjudul Digital Vigilantism as Weaponisation of Visibility (2017), mendefinisikan vigilantisme digital sebagai praktik digital yang dilakukan individu atau kelompok yang bertujuan untuk mengungkapkan atau mengkritik pelanggaran hukum atau moral yang dilakukan orang lain.

Vigilantisme digital melibatkan penggunaan teknologi digital, seperti media sosial, untuk mengekspos tindakan yang dianggap tidak pantas atau melanggar aturan dan nilai-nilai tertentu.

Ilustrasi sosial mediafreepik.com Ilustrasi sosial media
Perlawanan terhadap Kekuasaan

Trottier menekankan bahwa vigilantisme digital dapat menjadi sebuah senjata bagi individu atau kelompok untuk menghasilkan visibilitas dan pengaruh sosial yang lebih besar. Dalam hal ini, vigilantisme digital dianggap sebagai sebuah upaya untuk melawan ketidaksetaraan sosial dan politik dengan memanfaatkan kekuatan teknologi digital.

Tindakan itu ditujukan untuk menciptakan “teror sosial” dan meruntuhkan reputasi para pelaku kejahatan. Selain itu, tindakan tersebut juga didorong oleh ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum di Indonesia yang dianggap lebih berpihak pada penguasa.

Karena itu, masyarakat lebih memilih untuk mengekspos, mengkritik, atau bahkan menyerang pihak yang memiliki kuasa melalui ruang publik digital. Mereka menjadikan vigilantisme digital sebagai bentuk perlawanan terhadap pihak yang memiliki kuasa karena mereka memiliki ruang yang lebih bebas untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka.

Baca juga: Pilpres 2024 dalam Jebakan Algoritma Media Sosial

Vigilantisme digital sudah sering dilakukan netizen Indonesia, bahkan sering kali dinormalisasi. Anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hukuman sosial yang setimpal bagi pelaku kejahatan membuat sebagian netizen mewajarkan tindakan itu.

Dalam beberapa kasus, vigilantisme digital bahkan dianggap sebagai bentuk pertahanan diri korban tindak kejahatan yang tidak mendapat keadilan dari penegak hukum, sehingga mereka meminta pertolongan dan pengadilan massa netizen.

Dampak Negatif

Meski muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan, vigilantisme digital memiliki potensi bahaya yang harus diperhatikan.

Pertama, informasi yang tersebar di media sosial tidak selalu dapat dipercaya sepenuhnya, dan seringkali dapat menyebabkan kehancuran reputasi seseorang secara tidak adil. Hal ini karena vigilantisme digital yang dilakukan netizen sering kali menjurus pada penyerangan pribadi dan kekerasan verbal terhadap pelaku kejahatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com