Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdinandus Jehalut
Peneliti/Mahasiswa Pascasarjana UGM

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM, Direktur The Indonesian Agora Research Center (IARC)

Pilpres 2024 dalam Jebakan Algoritma Media Sosial

Kompas.com - 23/05/2023, 11:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2017, ketika pengguna Facebook mencapai 2 miliar orang, Mark Zuckerberg yang merupakan pendiri dan CEO Facebook menulis pesan di akun Facebook-nya: “Sampai pagi ini, komunitas Facebook resmi mencapai dua miliar orang. … Kami membuat kemajuan yang menghubungkan dunia, dan sekarang mari mendekatkan dunia. Merupakan suatu kehormatan untuk melakukan perjalanan ini dengan Anda.”

Pada kesempatan lain, Zuckergberg menulis: “Selama dekade terakhir, Facebook berfokus untuk menghubungkan teman dan keluarga. Dengan dasar itu, fokus kami selanjutnya adalah mengembangkan infrastruktur sosial untuk masyarakat – untuk mendukung kita, untuk menjaga kita tetap aman, untuk memberi informasi kepada kita, untuk keterlibatan sipil, dan untuk penyertaan semua orang.” (Dikutip oleh Vaidhyanathan, 2018: 10.)

Apa yang dikutip di atas bukanlah narasi idealis utopis pertama Zuckerberg tentang Facebook. Pada 2 Februari 2012, Zuckerberg pernah menulis pesan serupa dalam suratnya kepada para pemegang saham Facebook. Bahkan dalam pesan itu, Zuckerberg dengan tegas mengatakan bahwa Facebook merupakan media sosial yang dapat mendorong demokratisasi.

Baca juga: Pengertian Algoritma Pencarian dan Jenis-jenisnya

Menariknya, hanya empat tahun setelah Zuckerberg menarasikan visi utopis Facebook kepada para pemegang saham dan setahun sebelum ia menulis pesan terbuka di Facebook, tepatnya tahun 2016, Facebook dituduh menjembatani dan mempromosikan propaganda politik yang berpengaruh terhadap keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Trump merupakan sosok populis sayap kanan yang konsisten menyebarkan propaganda politik antiasing, nativisme, antiimigran, dan xenofobia di media sosial.

Tuduhan di atas diperkuat oleh temuan beberapa sarjana (Bdk. Vaidhayantan, 2018: Fuchs, 2022) bahwa dalam Pilpres AS 2016, ada keterlibatan Rusia untuk mempertajam friksi dan polarisasi politik melalui iklan yang dibeli di Facebook dan Instagram yang ditargetkan untuk menjangkau kurang lebih 126 juta orang AS.

Kasus yang tidak kalah menghebohkan adalah skandal "Cambridge Analityca". Cambridge Analityca merupakan skandal yang berhubungan dengan pengumpulan data pribadi dari kurang lebih 50 juta pengguna Facebook yang dimanfaatkan untuk memengaruhi pandangan politik pemilih melalui iklan politik terpersonalisasi pada Pilpres AS 2016.

Selain kedua kasus itu, para sarjana juga menemukan kontribusi Facebook dalam mendorong kebangkitan otoritarianisme dan alarm erosi demokrasi yang tampak dalam kemunculan kebrutalan etnis dan nasionalisme religius, friksi, fragmentasi, dan polarisasi politik serta retorika populisme sayap kanan dan fasisme digital selama proses pemilihan umum dan peristiwa politik penting di AS, Indonesia, Hungaria, Polandia, Kenya, India, Turkiye, Prancis, Filipina, Inggris, dan sejumlah negara lainnya (Fuchs, 2018 & 2022; Vaidhayantan, 2018).

Hal yang mengejutkan ialah ketika dimintai pertanggujawaban tentang kasus-kasus tersebut, Zuckerberg bergeming. Dalam manifesto yang dia tulis di akun Facebook-nya tahun 2017, Zuckerberg terkesan mencuci tangan. Dia berdalih bahwa masalah tersebut murni terjadi karena masalah penskalaan operasional, bukan karena Facebook memiliki posisi ideologis yang bertentangan dengan masyarakat.

Menurut dia, Facebook terlalu besar untuk diatur. Zuckerberg bahkan menempatkan dirinya sebagai korban kesuksesan Facebook yang dia ciptakan (Vaidhayantan, 2018: 12).

Kegentingan Pemilu di Indonesia

Di antara sekian negara yang terpengaruh oleh media sosial selama proses pemilu, Indonesia termasuk salah satu yang tingkat kegentingannya cukup tinggi. Selama Pilkada DKI Jakarta 2017, menurut temuan Lim (2017), alih-alih mendorong kebebasan berbicara, media sosial malah mendorong kebebasan untuk membenci.

Hal itu ditandai dengan pengerahan para relawan, buzzer, dan mikroselebriti di media sosial yang mengeksploitasi isu SARA dan hoaks untuk kepentingan elektoral. Pragmatisme politik begitu kental pada saat itu. Bahkan, Tempo edisi 26 Desember 2017 tak segan-segan menyebut Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai "pilkada brutal".

Ketegangan politik selama Pilkada DKI Jakarta 2017 berlanjut pada Pilpres 2019. Kita semua tahu pada waktu itu bahwa narasi cebong versus kampret menjadi narasi paling dominan di media sosial antara kedua kubu yang berkontestasi. Kita nyaris tidak menemukan diskursus politik yang berbobot di media sosial selama Pilpres 2019.

Apa yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 berpotensi akan terulang lagi pada momentum Pilpres 2024. Potensi ke arah itu sudah mulai terbaca lewat gejolak politik yang terjadi di media sosial saat ini.

Apalagi rancangan konsitusi kita sampai saat ini masih mensyaratkan raihan lebih dari 50 persen suara untuk bisa ditetapkan sebagai pemenang pilpres. Hal itu membuat pilpres pada akhirnya bergerak ke arah dua poros sehingga potensi keterbelahan dan polarisasi politik semakin tajam (Kompas.id, 19/03/2023).

Ancaman di atas menurut saya akan semakin genting karena demokrasi elektoral kita hampir belum bisa lepas dari pengaruh kehadiran ideologi-ideologi transnasional dan ultranasionalis yang mengusung politik identitas berbasis agama, suku, ras, dan budaya sebagai isu sentral untuk meraih simpati pemilih.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com