Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Agar Demokrasi Tidak Mati Melalui Proses Pemilu

Kompas.com - 11/01/2023, 10:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2022 menyimpan banyak cerita dan tontonan terkait berbagai kebijakan hukum yang dinilai non-demokratis dan berkarakter otokratis di Indonesia.

Berbagai kajian politik menyatakan, fenomena itu merupakan rangkaian cara untuk mengamankan kepentingan pragmatis elite oligarkis pada pesta demokrasi 2024. Tahun 2023 ini lalu dipandang sebagai tahun pertaruhan serta eksekusi dari skenario oligarki untuk membunuh demokrasi lewat agenda pemilu yang akan berlangsung tahun depan.

Catatan buruk terkait perkembangan demokrasi dan hukum sepanjang 2022, antara lain,  pertama, wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang disuarakan elite partai politik, pejabat pemerintahan, bahkan pimpinan lembaga negara. Narasi itu seharusnya tidak dimunculkan karena tidak sejalan dengan semangat reformasi dan prinsip konstitusionalisme dalam UUD 1945 yang berfondasi pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan merupakan unsur utama negara demokrasi konstitusional.

Baca juga: Dinilai Tidak Tegas, Jokowi Nikmati Isu Masa Jabatan Presiden 3 Periode?

Kedua, persoalan independensi penyelenggara pemilu yang tidak terjaga dan sarat kepentingan politik. Persoalan itu diawali pembentukan tim seleksi calon anggota KPU-Bawaslu yang dipimpin mantan anggota tim sukses Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 sehingga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Penyelenggara pemilu yang terbentuk dari ‘rahim’ yang sarat akan akomodasi kepentingan parpol, pada akhirnya menunjukkan praktik yang jauh dari prinsip jujur dan adil. Hal itu akan memunculkan dugaan kecurangan dan manipulasi proses verifikasi parpol untuk menjadi peserta pemilu.

Lebih memprihatinkan, sikap pasif Bawaslu dalam melakukan pengawasan. Temuan pelanggaran justeru ditemukan koalisi masyarakat sipil, bukan Bawaslu sebagai lembaga berwenang. Bawaslu bahkan terkesan ‘menunggu bola’ atau tidak proaktif terhadap laporan dan tindak lanjutnya.

Ketiga, takluknya lembaga pengawal demokrasi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Hal itu ditandai dengan pemberhentian Hakim Konstitusi, Aswanto, secara politik oleh DPR.

Intervensi politik terhadap lembaga kehakiman pasti akan berdampak sistemik pada peran strategis MK yang berwenang memutus hasil pemilu dan politik hukumnya untuk menegakan prinsip pemilu yang demokratis, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai amanat konstitusi.

Baca juga: Jejak Kontroversi Pelantikan Hakim Baru MK: Pencopotan Dadakan Aswanto dan Jokowi yang Tak Gubris Kritik

Sejumlah gejala otokrasi tersebut persis sama dengan fenomena pudarnya tatanan demokrasi di beberapa negara, seperti yang diuraikan Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam buku "How Democracies Die: What History Reveals About Our Future". 

Dalam buku tersebut Levitsky dan Ziblatt menganalogikan cara pemimpin otoriter menumbangkan demokrasi. Negara demokrasi diibaratkan seperti pertandingan sepak bola, di mana pemimpin otoriter berperan layaknya mafia sepak bola yang bermain di belakang layar untuk menentukan hasil pertandingan sesuai kepentingannya.

Peran tersebut dilakukan dengan cara menguasai seluruh perangkat pertandingan seperti wasit, penyelenggara liga, bahkan mengatur aturan main sesuai kehendaknya. Pada negara dan pemilu, gambaran praktik otokrasi dilakukan dengan mengkerdilkan legitimasi lembaga legislatif, yudikatif, kepolisian, militer, serta mengendalikan penyelenggara pemilu.

Dalam konteks Indonesia, praktik itu terjadi dalam beberapa kurun waktu terakhir. Dapat dilihat potret lemahnya kekuatan oposisi di parlemen, intervensi politik terhadap MK, sikap represif Polri terkait pelaksanaan program pemerintah, masuknya militer dalam birokrasi, dan praktik penyelenggara pemilu yang sarat kepentingan politik parpol.

Harapan Pemilihan Umum Demorkratis

Masih merujuk pada Levitsky dan Ziblatt, matinya demokrasi seperti yang terjadi di Turki, Venezuela, Hungaria, dan Rusia tidak dilakukan dengan cara inkonstitusional atau melalui proses kudeta militer.

Akan tetapi, demokrasi dibunuh melalui proses demokrasi, yakni pemilihan umum. Sebab, pemilu yang dilaksakanan di bawah kendali otokrasi dan oligarki belum tentu demokratis.

Pada realitas seperti ini, pemimpim otoriter bisa melenggang dengan mudah ikut berkompetisi dalam pemilu karena tidak berfungsinya peran partai politik sebagai ‘penjaga gawang demokrasi’ untuk melakukan seleksi yang obyektif. Proses pemilu yang diselenggarakan penyelenggara sarat dengan campur tangan partai politik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

7 Poin Penting dalam UU DKJ, Salah Satunya Mengatur soal Pemilihan Gubernur dan Wakilnya

7 Poin Penting dalam UU DKJ, Salah Satunya Mengatur soal Pemilihan Gubernur dan Wakilnya

Tren
Polisi Tangkap Sopir Grab yang Diduga Culik dan Peras Penumpang Rp 100 Juta di Jakarta Barat

Polisi Tangkap Sopir Grab yang Diduga Culik dan Peras Penumpang Rp 100 Juta di Jakarta Barat

Tren
Imigrasi Umumkan Paspor RI Akan Resmi Ganti Warna mulai 17 Agustus 2024, Apa Alasannya?

Imigrasi Umumkan Paspor RI Akan Resmi Ganti Warna mulai 17 Agustus 2024, Apa Alasannya?

Tren
Mengenal Caracal, Ras Kucing Liar yang Diduga Ditelantarkan Okin sampai Mati

Mengenal Caracal, Ras Kucing Liar yang Diduga Ditelantarkan Okin sampai Mati

Tren
Ramai soal Potongan Pajak THR yang Dinilai Tinggi, Bagaimana Cara Menghitungnya?

Ramai soal Potongan Pajak THR yang Dinilai Tinggi, Bagaimana Cara Menghitungnya?

Tren
Bank Indonesia Disebut Tak Keluarkan Uang Baru tapi Uang yang Lusuh untuk Lebaran 2024, Ini Kata BI

Bank Indonesia Disebut Tak Keluarkan Uang Baru tapi Uang yang Lusuh untuk Lebaran 2024, Ini Kata BI

Tren
10 Ciri Kucing Mau Melahirkan, Sering Gelisah dan Jadi Lebih Penyayang

10 Ciri Kucing Mau Melahirkan, Sering Gelisah dan Jadi Lebih Penyayang

Tren
Saat 10 Jenazah Pengungsi Rohingya Ditemukan di Perairan Aceh...

Saat 10 Jenazah Pengungsi Rohingya Ditemukan di Perairan Aceh...

Tren
Alasan PSI Akan Usung Kaesang sebagai Cagub Jakarta

Alasan PSI Akan Usung Kaesang sebagai Cagub Jakarta

Tren
Sering Dianggap Sama, Berikut Perbedaan Kura-kura dan Penyu

Sering Dianggap Sama, Berikut Perbedaan Kura-kura dan Penyu

Tren
Unair Buka Suara soal Gaduh Cuitan Mahasiswa Plagiat Tugas

Unair Buka Suara soal Gaduh Cuitan Mahasiswa Plagiat Tugas

Tren
Kronologi Aksi Percobaan Penculikan dan Pemerasan oleh Pengemudi GrabCar di Jakarta Barat

Kronologi Aksi Percobaan Penculikan dan Pemerasan oleh Pengemudi GrabCar di Jakarta Barat

Tren
Penyebab Komputer atau Laptop Hang dan Cara Mengatasinya

Penyebab Komputer atau Laptop Hang dan Cara Mengatasinya

Tren
Puluhan Kampus Pengirim Mahasiswa Magang di Jerman Bakal Dijatuhi Sanksi

Puluhan Kampus Pengirim Mahasiswa Magang di Jerman Bakal Dijatuhi Sanksi

Tren
Anakonda Terbesar di Dunia Ditemukan Mati, Diduga Ditembak Pemburu

Anakonda Terbesar di Dunia Ditemukan Mati, Diduga Ditembak Pemburu

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com