Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Konflik Keraton Solo, Berawal dari Perebutan Tahta 18 Tahun Silam

Kompas.com - 26/12/2022, 10:04 WIB
Diva Lufiana Putri,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo kembali menuai perhatian.

Terbaru, peristiwa pada Jumat (23/12/2022) malam menambah daftar panjang konflik internal antara dua kubu di Keraton Solo.

Sejarah konflik Keraton Solo telah berlangsung selama 18 tahun, bermula dari wafatnya Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat bergelar Pakubuwono XII atau PB XII pada 2004 silam.


Baca juga: Detik-detik Kericuhan di Keraton Solo, Ini Kesaksian Cucu Pakubuwono XIII yang Ditodong Pistol oleh Seseorang

Perjalanan konflik Keraton Solo

Dilansir dari Kompas TV, Minggu (25/12/2022), konflik internal Keraton Solo terjadi setelah PB XII mangkat pada 12 Juni 2004.

PB XII tidak memiliki permaisuri, melainkan hanya sejumlah selir. Dia juga tidak menunjuk satu pun anak yang akan mewarisi tahta Kasunanan Solo.

Itulah yang menyebabkan konflik di antara anaknya yang berbeda ibu tak dapat terhindarkan, hingga masing-masing kubu mendeklarasikan diri sebagai raja.

Putra tertua PB XII dari selir ketiga, Sinuhan Hangabehi pada 31 Agustus 2004 mendeklarasikan diri sebagai raja.

Dia bertahta di dalam keraton dengan dukungan utama dari saudara satu ibunya, termasuk Gusti Moeng.

Di sisi lain, putra dari selir lain, Sinuhan Tedjowulan turut menyatakan diri sebagai raja pada 9 November 2004.

Tedjowulan bertahta di keraton dengan dukungan saudara-saudaranya yang menilai dia lebih mampu menjadi pemimpin Kasunanan Solo.

Baca juga: Konflik Keraton Surakarta, Terjadi Bentrok Dua Kubu Kerabat Keraton

Sempat damai pada 2012

Konflik Keraton Solo sempat mereda pada 2012.

Kala itu, Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat sebagai Wali Kota Solo dan anggota DPR Mooryati Sudibyo, berupaya mendamaikan dua kubu di Jakarta.

Hasil upaya perdamaian, baik Hangabehi dan Tedjowulan sepakat untuk berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Dua kubu juga sepakat bahwa Hangabehi yang merupakan putra tertua PB XII tetap menjadi raja dengan gelar Pakubuwono XIII atau PB XIII.

Sementara Tedjowulan, menjadi mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com