Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Menurut KBBI, kata cinta berkelas kata adjektif dan bermakna suka, ingin mengasihi, dan sebagainya. Akan tetapi, tentu cinta tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan kamus semata. Terlebih sebatas keinginan memiliki yang cenderung menganggap pasangan sebagai objek.
Cinta juga hadir dalam imajinasi yang memengaruhi cara beperilaku dan berpikir manusia. Persoalan cinta ini juga dihadirkan dalam diskusi siniar BEGINU bertajuk “Asmara, Kota, dan Sastra” yang dapat diakses melalui tautan berikut dik.si/BeginuAsmara.
Dalam novel Antologi Rasa (2011), Ika Natassa sebagai pengarang merepresentasikan kisah anak muda Jakarta yang tidak lagi menjadikan uang sebagai masalah.
Mereka (para tokoh) kerap berperilaku hedonis untuk mendapatkan kebahagiaan semu, seperti belanja barang-barang mewah, clubbing, dan jalan-jalan ke luar negeri untuk mengisi kehampaan.
Para tokoh itu merupakan sebuah cerminan dari kehidupan masyarakat metropolitan yang kerap mencari arti di balik cinta kepada diri sendiri dan orang lain.
Pada kenyataannya sesuatu yang diwakilkan oleh kata “cinta” ini berkaitan dengan perasaan yang sifatnya “fiktif” dan tidak jarang menyebabkan manusia berimajinasi.
Imajinasi ini kerap dituangkan melalui sastra yang merupakan salah satu ekspresi “cinta” yang melingkupi pemikiran kritis, filosofis, dan artistik.
Tentu, keadaan tentang cinta ini memantik persoalan intelektual dan filosofis. Tetapi, cinta bisa juga menjadi persoalan warung kopi atau tongkrongan anak muda. Karena pada akhirnya, bukan perihal teori semata.
Baca juga: 5 Cara Menjelaskan Disabilitas pada Anak
Camus berpendapat bahwa cinta memungkinkan manusia untuk memberi kasih kepada seseorang atau objek yang layak mendapatkannya. Cinta yang dimaksud Camus jelas bukanlah nafsu yang kadang sulit dibedakan dengan cinta.
Nafsu cenderung praktik memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia.
Ketika cinta datang, semua hal seakan tidak penting dan luntur secara sedikit demi sedikit. Dalam konteks ini, cinta seperti tujuan dari kehidupan manusia yang dapat memberikan kebahagiaan.
Segala sesuatu yang sifatnya materialistis menjadi tidak penting dan memiliki tempat bagi seseorang yang sedang mengalami kondisi menerima dan memberi cinta.
Itu sebabnya, terlepas dari beragam pendapat atau masalah pengklasifikasian tentang sastra, prosa, puisi, dan drama, sastra lahir dari sebuah perenungan.
Perenungan ini dipengaruhi oleh banyaknya pengalaman dan fenomena yang terjadi pada hidup penciptanya. Bukanlah sesuatu yang aneh bila sebuah karya merupakan tanggapan pengarang atau penciptanya terhadap dunia sekitar.