Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi, Gerakan Nusantara Bersatu, dan PDI-P yang "Meradang"

Kompas.com - 28/11/2022, 20:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Acara Gerakan Nusantara Bersatu yang digelar pada Sabtu (26/11/2022) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) menuai sorotan.

Acara tersebut dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo dan diikuti oleh sekitar 150.000 relawan se-Indonesia.

Dalam acara itu, Jokowi menyampaikan sejumlah keberhasilan program Pemerintah dan sempat menyinggung soal kriteria pemimpin yang bisa dipilih pada Pemilu 2024.

Para relawan juga mendeklarasikan "2024 Manut Jokowi" di tengah acara Gerakan Nusantara Bersatu itu.

Baca juga: Pengamat Nilai Acara Reuni Relawan Jokowi Tak Perlu Digelar karena Kontraproduktif

Dikritik PDI-P

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto pun menyesalkan adanya kegiatan tersebut.

Ia bahkan menganggap Gerakan Nusantara Bersatu oleh para relawan ini menurunkan citra Jokowi yang sebelumnya sukses menggelar KTT G20.

"Sepertinya elite relawan tersebut mau mengambil segalanya. Jika tidak dipenuhi, keinginannya mereka mengancam akan membubarkan diri, tetapi jika dipenuhi elit tersebut melakukan banyak manipulasi," kata Hasto, Senin (28/11/2022).

Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto ditemui di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/11/2022).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto ditemui di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/11/2022).

Hasto mengatakan, banyak orang di sekitar Jokowi yang kurang paham bahwa elite relawan tersebut merupakan kumpulan dari berbagai kepentingan.

Padahal, kedekatan mereka seharusnya menyangkut urusan bangsa dan negara.

Baca juga: Jokowi dan Riuh Tiga Periode yang Masih Menggema...

Sarat intervensi kekuasaan

Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, tak ada aturan yang melarang presiden memberi dukungan pada salah satu tokoh.

Bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga mengatur secara jelas bagaimana seorang presiden boleh ikut aktif berkampanye, termasuk dalam kontestasi Pilpres.

Namun, ia menilai pengumpulan massa relawan tersebut kurang etis.

"Ketidaknetralan presiden berpeluang membuat pemilu mendatang menjadi kurang berimbang dan sarat intervensi kekuasaan," kata Umam kepada Kompas.com, Senin (28/11/2022).

Umam menjelaskan, dukungan presiden bukan jaminan untuk meniadakan politisasi instrumen lembaga-lembaga negara sebagai alat pemenangan kelompok yang didukungnya itu.

Di level itu, ia menyebut kompetisi menjadi tidak fair dan nilai-nilai demokrasi kembali direndahkan.

Baca juga: Kerap Obral Endorsement, Jokowi Dinilai Belum Tentukan Dukungan Tetap ke Kandidat Capres 2024

Meniru langkah presiden sebelumnya

Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono saat di Gedung Serbaguna, Siyono, Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta. Kamis (30/6/2022)KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono saat di Gedung Serbaguna, Siyono, Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta. Kamis (30/6/2022)

Umam menilai, Jokowi semestinya meniru sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang netral dan berdiri di atas semua pihak yang berkompetisi.

"Meskipun saat itu besan SBY, Hatta Rajasa, maju sebagai cawapres Prabowo, namun SBY memilih sikap netral untuk menjaga ritme kekuasaan dalam lingkungan yang demokratis," jelas dia.

"Karena itu, netralitas kekuasaan akan lebih menjamin kualitas demokrasi yang lebih adil dan berkualitas," kata Umam.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com