Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Ridwan Herdika
Pegawai Negeri Sipil

Seorang sarjana hukum dan aktivis hak asasi manusia (HAM). Pernah menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Komnas HAM RI Perwakilan Papua. Instagram : @ridwanherdika

Persidangan Kasus HAM Paniai di PN Makassar dan Permasalahan Kewenangan Relatif Pengadilan HAM di Indonesia

Kompas.com - 22/11/2022, 15:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI sekian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Papua, salah satunya terjadi di Paniai pada 8 Desember 2014. Kasus itu dikenal sebagai “Peristiwa Paniai Berdarah 2014”.

Peristiwa tersebut menyebabkan empat orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka akibat kekerasan yang diduga dilakukan anggota TNI.

Delapan tahun berlalu, penantian keluarga korban akan keadilan seolah-olah dihadirkan negara dengan dimulainya persidangan perdana peristiwa tersebut melalui Pengadilan HAM di PN Makassar pada 21 September 2022. Namun, sebagaimana dugaan keluarga korban dan pemerhati hukum dan HAM di Tanah Air sejak awal, Pengadilan HAM itu dinilai mengecewakan oleh berbagai pihak.

Baca juga: Terdakwa Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua Mayor Isak Sattu Dituntut 10 Tahun Penjara

Mulai dari obyek materiil penyidikan hingga proses persidangan dianggap hanya gimmick semata agar negara seolah-olah dianggap telah melaksanakan kewajibannya untuk menjamin, memenuhi, menjaga, dan menegakkan hak asasi manusia.

Luasnya isu yang menjadi polemik dalam proses peradilan itu tidak akan selesai melalui satu kolom tulisan dengan ruang yang terbatas ini. Karena itu, penulis akan berfokus terhadap permasalahan kewenangan relatif Pengadilan HAM di Indonesia, terutama dalam kasus Pengadilan HAM “Peristiwa Paniai Berdarah 2014”.

Kompetensi relatif Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc

Pengadilan HAM menurut UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibagi menjadi Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM. Pengadilan HAM Ad Hoc berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat sebelum berlakunya UU 26 Tahun 2000 sehingga bersifat retroaktif. Sementara Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM yang berat pasca-berlakunya UU 26 Tahun 2000.

Kedua pengadilan tersebut pada dasarnya berada di lingkungan peradilan umum. Mengingat Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat sementara, kompetensi relatifnya diatur dalam Keppres yang telah diterbitkan presiden sebelumnya, tanpa terikat di mana locus kejadian perkara.

Sebagai contoh, peristiwa pelanggaran HAM di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres Nomor 53 Tahun 2021 yang salah satu isinya memberikan kewenangan PN Jakarta Pusat untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan HAM. Seharusnya setiap pengadilan negeri di kota dan kabupaten di Indonesia mendirikan Pengadilan HAM. Yurisdiksi pengadilan HAM mengikuti kompetensi relatif masing-masing pengadilan negeri di setiap kota atau kabupaten di indonesia (lihat Pasal 3 UU 26 Tahun 2000).

Akan tetapi, entah apa original intent pembuat undang-undang, aturan selanjutnya dalam Pasal 45 UU 26 Tahun 2000 melimitasi kewenangan relatif masing-masing pengadilan negeri, baik di kota maupun kabupaten, di seluruh indonesia untuk mendirikan Pengadilan HAM dengan menunjuk pengadilan-pengadilan negeri tertentu yang berwenang mengadili pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Komnas HAM Soroti Pengadilan Pelanggaran HAM Berat Paniai Sepi Perhatian Publik

Bunyi Pasal 45 ayat adalah: “Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar”.

Selanjutnya ayat 2 menjelaskan soal pembagian yurisdiksi masing-masing Pengadilan HAM yang mana salah satunya wilayah Papua masuk ke dalam yurisdiksi PN Makassar.

Tidak adanya kepastian hukum

Hal tersebut kontradiktif jika kita melakukan penafsiran hukum secara sistematis. Adanya kontradiksi antar norma dalam Pasal 3 dan Pasal 45 UU 26 Tahun 2000 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, yang tentu dampaknya akan menghalangi keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat.

Belum lagi terkait rumusan yang ambigu, alias tidak jelas, pada Pasal 45 ayat 1 UU 26 Tahun 2000 terkait istilah “Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM…. dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Apa yang dimaksud dengan frasa “untuk pertama kali...”? Apa patokan atas frasa tersebut? Apabila yang dimaksud ialah persidangan Pengadilan HAM pertama kali, bukankah Pengadilan HAM definitif pernah juga bersidang di PN Makassar tahun 2004 atas kasus pelanggaran HAM berat di Abepura? Mengapa saat ini kita masih tunduk dengan norma Pasal 45 ayat 1 tersebut atau ada maksud lain dari pembentuk undang-undang?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com