Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Napak Tilas Perjuangan Helen Keller

Kompas.com - 06/11/2022, 06:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU di antara sekian banyak senjata pamungkas untuk membentuk opini publik adalah pengajaran yang diberikan oleh guru kepada murid di sekolah.

Satu di antara sekian banyak contoh pengajaran untuk membentuk opini publik adalah ikhtiar menutupi sebagian data perjuangan Helen Keller.

Helen Keller dilahirkan di Tuscumbia, Alabama, Amerika Serikat pada 27 Juni 1880. Pada usia 19 bulan akibat scarlet fever, Helen Keller kehilangan indera lihat dan indera dengar sehingga tuna netra dan tuna rungu.

Lima tahun kemudian atas prakarsa Alexander Graham Bell, Helen Keller didaftarkan untuk sekolah di Perkins Institute for the Blind di Boston.

Di bawah bimbingan Anne Sullivan, Helen Keller belajar untuk berkomunikasi dengan lingkungan hidupnya.

Keller belajar dan menulis dengan huruf Braille dan menggunakan bahasa bisu-tuli dengan sentuhan indra-raba pada tangan.

Dengan “mendengarkan” kuliah di Radcliffle College atas bantuan sentuhan Anne Sullvan pada tangan, Keller lulus magna summa cum lauda dari Radcliffe College pada 1904.

Pada usia 12 tahun, Helen Keller menerbitkan buku pertama dalam bentuk sketsa autobiografi. Tatkala masih menempuh pendidikan di Radcliffe College, Helen menerbitkan buku berjudul The Story of My Life yang kini telah diterjemahkan ke lebih dari lima puluh bahasa.

Kemudian perempuan hebat ini mempublikasikan empat buku tentang pengalaman pribadi, agama, problem sosial, dan biografi Anne Sullivan di samping artikel di berbagai media massa tentang pencegahan, pembinaan serta pendidikan bagi kaum tunanetra.

Pada 1924, Helen Keller bergabung ke American Foundation for the Blind yang didirikan berkat keteladanan perjuangan Helen Keller menegakkan pilar-pilar hak asasi kaum tunanetra.

Ketika AFB mendirikan cabang di mancanegara, maka diberi nama Helen Keller International. Pada 1959, sebuah karya teater William Gibson dengan judul The Miracle Worker tentang perjuangan Helen Keller dipergelar-perdanakan di Broadway, New York City kemudian diangkat ke layar lebar pada 1962 yang memperoleh anugerah Oscar.

Pendek kata, Helen Keller dihormati seluruh dunia sebagai suri teladan keberhasilan seorang penyandang tunanetra dengan semangat pantang menyerah berjaya mengubah persepsi dunia terhadap kaum penyandang difabilitas.

Citra positif Helen Keller dikembangkan maksimal oleh media massa sehingga memengaruhi apa yang diajarkan oleh para guru kepada murid di sekolah tentang Helen Keller.

Sementara media massa konsekuen dan konsisten menutupi fakta bahwa Helen Keller mendukung komunisme dengan sempat memuji dan memuja revolusi Rusia sebagai sinar harapan di ufuk Timur dipandang dari Amerika Serikat.

Sudah barang tentu keberpihakan Helen Keller kepada rakyat tertindas dalam bentuk komunisme sama sekali tidak searah setujuan seirama senada dengan gerakan antikomunisme di bawah pimpinan Joseph McCarthy dalam rangka mendukung Perang Dingin Amerika Serikat melawan Uni Sowyet.

Selaras mazhab pragmatisme kapitalisme bahwa small picture wajib dikorbankan demi big picture. Maka media massa mainstream Amerika Serikat secara hermetis menutupi fakta Helen Keller simpatisan komunisme demi tidak mengganggu arus gelombang gerakan antikomunisme yang sedang digelorakan oleh Amerika Serikat demi menaklukkan sang lawan geopolitik, yaitu Uni Sowyet.

Yang menderita nasib lebih buruk ketimbang Helen Keller adalah Charlie Chaplin yang akibat distigmasisasi pro-komunisme terpaksa mengungsi ke Swiss.

Maka para guru di sekolah Amerika Serikat mau pun negara lain termasuk Indonesia tidak mengajarkan kepada murid-murid bahwa Helen Keller simpatisan komunisme.

Mirip fenomena faktual bahwa para guru di Indonesia pada masa Orba sebaiknya jangan mengajarkan mahakarya Pramudya Ananta Toer kepada murid-muridnya kecuali jika ingin diasingkan ke Pulau Buru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com