SELASA, 11 Oktober 2022, di Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo memimpin Sidang Kabinet Paripurna.
“Yang berkaitan dengan Presidensi G20, saya minta gaungnya diangkat lagi; sehingga betul-betul menuju ke G20 Summit ini, betul-betul gregetnya di dalam maupun di luar negeri itu betul-betul ada,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga merilis pengarahan konsolidasi kementerian dan lembaga melalui menteri koordinator (Menko) guna antisipasi dan respons pelambatan ekonomi dunia, krisis pangan, krisis energi, dan keuangan global.
Sehari kemudian yaitu pada Rabu, 12 Oktober 2022 di New York, Amerika Serikat (AS), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, mengirim surat kepada para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20, jelang agenda Presidensi G20 November 2022 di Bali.
Baca juga: Merasa “Dikhianati” Usai Produksi Minyak Dipangkas, Biden Tak Akan Temui MBS di KTT G20
“Excellencies, allow me to begin by acknowledging the leadership of the Group of Twenty (G20) in the difficult context posed by the current state of world affairs... Today, the G20 is at a crossroads: it can proceed with the status quo, or it can take a new course to steer a global economic recovery for all. I believe a new course is the right choice,” begitu bunyi cuplikan surat António Guterres.
G20 saat ini, papar António Guterres, berada di persimpangan jalan: G20 memilih status quo atau memilih arah baru guna memimpin pemulihan ekonomi global bagi seluruh dunia. Syok ekonomi global akibat perang di Ukraina saat ini, diperburuk oleh ketidakadilan tata keungan global selama ini.
Solusinya ialah penerapan dan percepatan program pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Dalam suratnya itu, Guterres menyebut lima pilihan program ‘arah-arus baru’ yang strategis bagi G20 saat ini, yakni (1) Segera tingkatkan keringanan utang untuk negara-negara yang rentan krisis; (2) Manfaatkan lebih baik pinjaman dari Bank Pembangunan Multilateral (MDB) dan Bank Pembangunan Publik (PDB) guna mendukung SDGs; (3) Libatkan pemegang obligasi swasta dan sovereign-debtor dalam upaya-upaya penghapusan utang; (4) Tingkatkan dukungan likuiditas secara struktural untuk negara- negara rentan krisis melalui Special Drawing Rights (SDRs); dan (5) Menyelaraskan arus keuangan dengan SDGs dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) 2016.
G20 adalah forum antar-pemerintah dari 19 negara plus Uni Eropa. G20 dibentuk oleh menteri keuangan negara G7 tahun 1999.
Meski G20 tanpa skretariat kantor pusat, grup itu membahas isu ekonomi, seperti stabilitas keuangan global, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan, khususnya sejak krisis peso Meksiko (1994), krisis keuangan Asia (1997-1998), dan krisis rubel Rusia (1998).
Dari AS, Selasa, 11 Oktober 2022, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) merilis World Economic Outlook.
“In short, the worst is yet to come, and for many people 2023 will feel like a recession,” papar laporan IMF itu.
Singkatnya, ekonomi dunia berisiko resesi tahun 2023. Laporan IMF (2022) menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi global berkisar 3,2 persen tahun 2022 dan sekitar 2,7 persen tahun 2023.
Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, merinci akumulasi risiko krisis global saat ini. Misalnya, kira-kira 1/3 ekonomi global secara teknis, sudah resesi atau kontraksi selama dua kuartal berturut-turut tahun 2022 (Alan Rappeport / The New York Times, 2022; Jonathan Ponciano/Forbes, 11/10/2022).
Saat ini, ekonomi AS mengalami lonjakan inflasi dan suku bunga; Sedangkan zona ekonomi euro 19 negara Uni Eropa dan dan Tiongkok mengalami pelambatan.
“In short, the worst is yet to come... for many people, 2023 will feel like a recession,” papar Pierre-Olivier Gourinchas.