(Artikel ini ditulis bersama Wulan Ramadani, peneliti keuangan iklim dan energi di Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).
SEKRETARIS Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (CBD PBB), Elizabeth Mrema menyatakan, lebih dari 50 persen ekonomi global bergantung langsung pada alam dan ekosistem.
Namun, kegiatan ekonomi tersebut berdampak pada hilangnya area hutan yang sangat luas. Karena itu, sektor bisnis harus bersiap untuk pengawasan yang lebih besar atas risiko terkait alam.
Pengawasan itu dilakukan sebagai konsekuensi atas kerusakan alam yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis dan keuangan.
Mrema menegaskan, sektor bisnis perlu menerapkan kerangka kerja untuk menilai dan mengungkapkan risiko, ketergantungan, dan peluang terkait alam melalui kerja sama dengan Task Force on Nature-related Financial Disclosure (TNFD) (The Banker, 22 September 2022).
Baca juga: CEK FAKTA: Benarkah Indonesia adalah Negara dengan Keanekaragaman Hayati Terkaya?
Kondisi keanekaragaman hayati global saat ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan “Global Biodiversity Outlook 5” yang dikeluarkan CBD PBB, dunia telah gagal dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan tidak ada satu pun Aichi Biodiversity Target yang berhasil tercapai sepenuhnya.
Aichi Biodiversity Target merupakan target-target penyelamatan keanekaragaman hayati yang sebelumnya ditetapkan oleh CBD PBB pada periode 2011-2020.
Laporan “Nature Loss and Sovereign Credit Ratings” dari Bennet Institute for Public Policy, Universitas Cambridge, tentang peringkat 26 negara dalam skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”, Indonesia bersama dengan Tiongkok diprediksi akan mengalami penurunan kemampuan membayar kredit akibat kehilangan spesies-spesies tumbuhan dan binatang.
Sebanyak 12 dari dari 26 negara yang diteliti mengalami peningkatan risiko kebangkrutan lebih dari 10 persen. Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini meliputi penurunan 90 persen jasa ekosistem masing-masing pada perikanan laut, penyerbukan liar, dan pasokan kayu dari daerah tropis.
Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini akan mengurangi kinerja ekonomi sehingga negara-negara akan mengalami kesulitan membayar utang, terbebaninya anggaran pemerintah, dan terpaksa menaikkan pajak, memotong pengeluaran, atau meningkatkan inflasi.
Indonesia, bersama Malaysia, Tiongkok, India, dan Bangladesh adalah lima negara yang paling rentan menuju kebangkrutan akibat skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”.
Sejumlah negara di dunia yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tengah mempersiapkan Post-2020 Global Biodiversity Framework dalam Konferensi Para Pihak (COP15) yang akan diadakan di Montreal, Kanada pada Desember 2022 nanti.
Kerangka kerja itu akan menjadi batu loncatan menuju visi CBD PBB pada 2050, yaitu Living Harmony with Nature. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan untuk mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati global pasca-2020 adalah keterkaitan antara sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati.
Saat ini diperlukan adanya kebijakan “No Go” pada bank dan lembaga keuangan. Kebijakan ini dilakukan dengan cara melarang pembiayaan langsung atau tidak langsung terhadap seluruh kegiatan yang tidak memenuhi aspek keberlanjutan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif pada area yang diprioritaskan untuk keanekaragaman hayati.
Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi krisis perubahan iklim, dan mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.