RUMAH ibadah merupakan sarana penting yang menunjang praktik keagamaan. Rumah ibadah seperti masjid, gereja, vihara, atau lainnya memiliki fungsi beragam.
Selain sebagai sarana yang menunjang berjalannya praktik peribadatan, rumah ibadah juga berfungsi sebagai sarana musyawarah untuk memecahkan problematika sosial dan keumatan.
Rumah ibadah menjadi semacam simbol bagi tegaknya marwah keagamaan dan bahkan marwah negara.
Begitu banyak seruan positif yang disuarakan dari rumah ibadah yang tidak terbatas pada hal-hal menyangkut urusan syariat, tetapi juga menyentuh unit-unit terkecil dalam kehidupan sosial dan kebangsaan, demi mewujudkan suasana yang harmonis di tengah keragaman.
Baca juga: Kontroversi Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia
Tidak ada rumah ibadah yang mengajarkan untuk saling membenci terhadap pemeluk agama yang berbeda. Semua rumah ibadah difungsikan untuk meluaskan ajaran-ajaran moral yang luhur agar eksistensi keagamaan menjadi penopang bagi tegaknya kesatuan dan persatuan bangsa.
Di Indonesia, eksistensi agama dilindungi konstitusi. Adanya keragaman agama tidak membuat konstitusi kita tebang pilih dalam mengakomodir setiap aspirasi keagamaan, tidak terkecuali dalam urusan pendirian rumah ibadah.
Namun demikian, adakalanya terjadi polemik yang disebabkan oleh penolakan terhadap pendirian rumah ibadah dari agama tertentu masih ditemukan di beberapa daerah.
Salah satunya yang tengah menjadi sorotan belakangan ini adalah terkait penolakan pendirian gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Cilegon, Banten.
Siapa yang menolak dan apa latar belakang penolakan tersebut tentu harus dipahami secara mendalam dan holistik. Tujuannya agar kita tidak terburu-buru melayangkan pernyataan yang bisa saja hanya semakin memperkeruh keadaan.
Ketika penolakan pendirian gereja di Cilegon mulai ramai diberitakan awal September 2022, ada beberapa pihak di media sosial yang menilai penolakan tersebut sebagai gerakan kebangkitan sentimen keagamaan yang secara perlahan terus meluas.
Penilaian itu muncul karena penolakan tersebut dilakukan tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pejabat daerah setempat.
Ada yang menilai bila penolakan terhadap pembangunan gereja itu hanya dilakukan masyarakat, maka hal tersebut masih bisa untuk dimuyawarahkan.
Namun bila pejabat daerah setempatnya sudah ikut-ikutan menolak dengan menggunakan beberapa dalih, maka hal itu dinilai sebagai ciri dari sentimen keagamaan yang semakin kuat dan merambah hingga ke level birokrasi.
Tetapi benarkah penolakan pembangunan gereja seperti di Cilegon itu disebabkan oleh adanya sentimen keagamaan?
Baca juga: Pendirian Rumah Ibadah Menurut SKB 2 Menteri
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin terlebih dahulu memulainya dengan mengajukan pertanyaan susulan, yakni mengapa kita membudayakan ketergesaan dalam menilai situasi? Mengapa kita selalu terburu-buru membicarakan dan menilai sesuatu yang belum jelas dalam pandangan serta pendengaran kita?