WARTEG (Warung Tegal) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (Ayodya, 2010).
Warteg merupakan salah satu usaha kuliner lokal berskala mikro yang menyediakan berbagai macam sajian makanan khas daerah Tegal dari Jawa Tengah dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Penyajiannya makanannya sangat sederhana, yaitu secara prasmanan atau dilayani dengan jenis makanan yang bervariasi mulai dari sayur hingga lauk. Tidak ada yang spesifik.
Umumnya, warteg buka dari pagi hingga malam hari, bahkan 24 jam sehari untuk menyediakan sarapan, makan siang, hingga makan malam dengan harga yang sangat bersahabat di kantong konsumen.
Baca juga: Siasati Kenaikan Harga BBM, Pengusaha Warteg: Tempe Jadi Setipis Kartu ATM
Awalnya, warteg dikelola masyarakat yang berasal dari tiga desa, yaitu Desa Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon yang terletak di Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal kemudian berkembang menjadi bisnis kuliner lokal yang tersebar baik di dalam hingga di luar pulau Jawa.
Di samping motif ekonomi, menjamurnya warteg di berbagai daerah terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dikarenakan warteg sudah menjadi tradisi yang sudah dilakukan oleh generasi warga dari daerah itu.
Bagi warga Tegal, khususnya Desa Cabawan, budaya merantau dan usaha warteg di kota-kota besar, terutama Jakarta, sudah menjadi tradisi turun temurun karena kota-kota besar diromantisasi oleh mereka sebagai ruang untuk mengubah nasib menjadi lebih baik (Maria, 2005).
Berdasarkan data asosiasi warteg, setidaknya terdapat lebih dari 34.000 warteg yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya, belum lagi ribuan warteg lainnya yang belum atau tidak tercatat oleh institusi pemerintah maupun asosiasi swasta (Sugiana, et al, 2019).
Kehadiran warteg di ibu kota dimulai sejak tahun 1970-an dan diinisiasi oleh anggota komunitas yang berasal dari daerah Sidapurna dan Sidakaton, Tegal. Para pemiliknya kemudian bergabung dalam asosiasi Koperasi Warung Tegal atau Kowarteg untuk mengembangkan bisnis mereka di Jakarta.
Secara sosial budaya, warteg tidak hanya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tetapi juga sebagai tempat banyak orang untuk saling bertukar berbagai informasi mulai dari hal-hal yang remeh temeh hingga perihal politik.
Para pemilik warteg memiliki keterikatan sosial-budaya yang sangat kental dalam menjalankan usaha mereka, budaya saling membantu antar pemiliknya yang berasal dari daerah yang sama sangatlah kuat.
Budaya kekerabatan juga tercermin dari sistem kerja para pemilik warteg. Umumnya mereka mengelola wartegnya secara bergantian selama tiga bulan sekali, yang kemudian digilir dengan saudara atau kerabat lainnya.
Asytuti (2015) mengatakan, pedagang warteg terdahulu memiliki kontribusi besar dalam membantu para migran yang berasal dari Kota Tegal dan berencana membuka bisnis serupa.
Artinya, pedagang warteg baru akan dibantu pedagang yang sudah berpengalaman mulai dari pemilihan lokasi bisnis hingga modal awal sehingga keterikatan budaya inilah yang menjadi salah satu faktor kunci mengapa warteg banyak berkembang pesat di kota-kota besar.
Hal tersebut tentunya berdampak positif pada peningkatan pendapatan lokal dan secara langsung berkontribusi terhadap perubahan gaya hidup serta pertumbuhan ekonomi di desa. Cerita tentang kesuksesan mereka di kota besar kemudian menjadi daya pikat bagi warga Tegal untuk merantau ke kota besar dan akhirnya menjelma menjadi identitas kaum urban Tegal di Jakarta.
Baca juga: Penampakan Warteg Berdiri Kokoh di Antara Rumah-rumah yang Terbakar di Simprug Jaksel
Seiring waktu, kepemilikan warteg mengalami perubahan yang sebelumnya hanya dimiliki perorangan menjadi sebuah paguyuban untuk orang yang memiliki kekerabatan berdasarkan kampung halaman maupun tidak.