KOMPAS.com - Bjorka jadi sorotan setelah mengklaim telah membocorkan data pribadi masyarakat Indonesia, kementerian, hingga dokumen rahasia presiden RI.
Akun Twitter yang diduga milik Bjorka juga mendadak hilang setelah mengungkap dalang pembunuh aktivis HAM Munir.
Warganet menantang Bjorka untuk mengungkap dalang pembunuh Munir beberapa waktu lalu.
Sejak kemunculannya beberapa bulan ini, warganet ramai membicarakannya. Tak sedikit yang ikut menyebarkan data yang bocor, seperti data dalang pembunuh Munir.
Apakah warganet yang ikut menyebarkan data pribadi atau meminta dibukanya identitas dalang pembunuh Munir bisa kena sanksi?
Baca juga: Bjorka Klaim Ungkap Pembunuh Munir, Begini Kronologi dan Investigasi Kasusnya hingga Kini
Pemerhati keamanan siber sekaligus staf Engagement and Learning Specialist di Engage Media, Yerry Niko Borang, menjelaskan hal tersebut masih menjadi perdebatan.
"Masih debatable ya. Yang pertama menyebarkan kan Bjorka dan media sosial itu ruang publik. Kalau mau dihukum apakah Twitter juga akan dihukum?" kata Yerry pada Kompas.com, Senin (12/9/2022).
Dia mengatakan dalam kasus normal, orang yang membagikan data pribadi ancamannya tegas dan ada hukumannya, misalnya di UU ITE (karena belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi).
Di pasal 32 ayat 2 UU ITE ancaman hukumannya mencapai 9 tahun penjara bagi yang menyebarkan data pribadi.
"Saya melihat dalam kasus Bjorka ada nuansa politik, yaitu kritik terhadap pelayanan negara, Kominfo dan sebagainya dan ini masuk dalam ekspresi politik. Semacam protes online karena interaksi Bjorka dan netizen yang justru banyak meminta Bjorka untuk melakukan ini dan itu. Apakah siap menghukum puluhan ribu orang?" imbuh Yerry.
Dia juga mengatakan semestinya perlu melihat konteks sosial juga, seperti kaitannya dengan isu transparansi dan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (misalnya, kenaikan BBM, kasus Munir dan sebagainya).
Baca juga: Ramai soal Bjorka, Ini Daftar Hacker Terkenal di Dunia
Meski begitu menurut Yerry data pribadi memang sebaiknya tidak dibocorkan maupun disebarkan, karena itu hak asasi. Kecuali dia pejabat yang sedang bermasalah, misalnya korupsi.
Sebaiknya menurut Yerry warganet tidak perlu ikut menyebarkan data-data yang bocor. Hal itu lantaran jika data tersebut benar, bisa jadi dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
Dalam kasus Bjorka, Yerry menggarisbawahi pihak yang perlu dibenahi adalah pemerintah.
"Sebenarnya yang perlu ditagih kewajiban penyimpan dan pengumpul data dalam hal ini pemerintah. Dalam RUU keamanan data pribadi, ada kewajiban bagi pengumpul data dan ada konsekuensi kalau lalai. Kan kalau tidak dikumpulkan NIK akan sulit dicuri, tapi karena dikumpulkan di satu lembaga menjadi memudahkan hacker. Bisa jadi dibaca seperti itu," tutur Yerry.