Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pendidikan Bukan Komoditas

Kompas.com - 25/08/2022, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENCARI kampus terbaik dengan biaya terjangkau saat ini bagai menanti komet Halley yang terlihat hanya setiap 76 tahun sekali, jarang bahkan hampir tak pernah terlihat.

Kita mesti mengakui, pendidikan tinggi memang tidaklah murah. Kualitas dan biaya tentu berbanding lurus. Meski beasiswa tersebar seantero Nusantara, tetap saja masih ada yang sulit mengenyam bangku kuliah karena alasan ekonomi.

Ironisnya, masih ada oknum yang tega menjadikan perguruan tinggi sebagai komoditas bisnis, bahkan sebagai ladang korupsi. Peristiwa tertangkapnya seorang rektor perguruan tinggi karena dugaan suap mencoreng citra perguruan tinggi di Tanah Air dari segala penjuru sudut pandang. Kepercayaan publik pada perguruan tinggi runtuh.

Baca juga: Nadiem Investigasi Penerimaan Mahasiswa Baru di PTN Se-Indonesia Buntut Kasus di Unila

Dengan keprihatinan mendalam, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian seorang rektor yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan. (Kompas.com, 21/8/2022).

Kadung dipahami masyarakat bahwa perguruan tinggi sebagai tiket untuk karir yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih mapan. Masyarakat sering mengukur nilai perguruan tinggi dengan pendekatan ekonomi bisnis murni, sehingga menganggapnya tak ubah seperti komoditas lainnya.

Bahkan ada yang memandang nilai perguruan tinggi sebagai investasi yang akan mendapatakn return materi yang lebih tinggi di masa depan. Tak ada yang salah, tetapi akan berbahaya jika patokan kesuksesan diukur dengan pendekatan bisnis semata. Maka tak mengherankan, “suap menyuap” di lingkungan pendidikan bisa terjadi.

Perguruan tinggi sebagai tempat menempa peradaban

Tak salah memang menjadikan perguruan tinggi sebagai pijakan masa depan. Hanya saja kita terlena dan tak lagi memandang perguruan tinggi sebagai tempat menempa peradaban yang kokoh.

Prinsip “mencerdaskan kehidupan bangsa” sedikit demi sedikit memudar, yang tersisa hanya “mencerdaskan kaum berada”.

Pertanyaannya, tak pantaskah mereka yang tak berpunya memiliki kesetaraan pendidikan di negeri yang 20 persen anggaran negaranya dihabiskan untuk memajukan pendidikan?

Materi menjadi tolok ukur, sehingga pasti lebih masyarakat yang senang mengukur tentang berapa penghasilan rata-rata sarjana perguruan tinggi setelah lulus.

Hal ini wajar saja, sebab banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan gelar-gelar mentereng akademik. Lebih-lebih bagi orang tua yang memilih jalan pintas untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi ternama dengan biaya selangit. Mereka tak segan-segan menghabiskan banyak aset dan uang demi melihat anaknya kuliah di perguruan tinggi terbaik.

Namun, yang perlu digaris bawahi, asumsi pendidikan yang disamakan dengan komoditas menjadi sangat salah. Jika kita akan memperlakukan perguruan tinggi sebagai komoditas, setidaknya kita harus memahami esensi dari sifat ekonominya.

Baca juga: Penangkapan Rektor Universitas Lampung, Permintaan Maaf, dan Wajah Dunia Pendidikan yang Tercoreng

Jika anggapannya demikian, perguruan tinggi tak ubah seperti pasar yang juga membutuhkan "pembeli" untuk menjamin kelangsungan “dagangan” pendidikan dengan gelar sebagai “produk”.

Tentu saja tak elok didengar. Citra seperti ini sangat merusak. Jadi mari kita akui bahwa perguruan tinggi bukanlah komoditas dan tak layak dijadikan komoditas.

Seorang profesor perlu menginspirasi dan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk belajar. Perguruan tinggi yang baik seharusnya justru memberikan banyak bantuan kepada mahasiswa yang menghadapi tantangan dalam menyelesaikan pendidikan mereka dalam waktu yang wajar. Tidak malah dipersulit dan dijadikan “lahan” meraup kekayaan.

Bagaimanapun, keputusan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi adalah keputusan untuk melakukan investasi di masa depan mereka, investasi waktu dan uang. Yang tak ternilai dari perguruan tinggi adalah bahwa kita secara “merdeka” bisa menggunakan segenap kapasitas untuk berargumen, bahkan menjadi wadah kontribusi terhadap pengetahuan.

Fungsi berharga ini harus terjaga dari praktik-praktik kotor. Ini adalah tanggung jawab perguruan tinggi untuk menempatkan mahasiswa di lingkungan yang memberikan kesempatan yang sama.

Tentu saja kita tidak rela perguruan tinggi melahirkan bibit sumber daya manusia yang tak berempati, yang mengukur peradaban hanya dengan materi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com