Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Stiglitz, Hattanomics, dan Antisipasi Krisis

Kompas.com - 18/08/2022, 10:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SOME lessons fom the East Asian miracle”, beberapa pelajaran keajaiban ekonomi Asia Timur adalah judul hasil riset dan kajian Joseph Eugene Stiglitz (1996:151-177),  dosen di  Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS), tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Singapura, dan Jepang. Kajian itu dirilis The World Bank Research Observer, Vol. 11, No. 2 (August 1996).

Stiglitz pun menjadi topik pembicaraan pelaku pasar, investor, bankir, dan pemerintah skala global. Kajian Stiglitz berbasis studi-studi kasus, teori ekonomi, dan data ekonometri tentang ekonomi Asia Timur awal 1990-an. Hasilnya, kebijakan ekonomi negara-negara Asia Timur layak diadopsi oleh negara lain.

Baca juga: Membaca Stiglitz di Era Jokowi

Hingga hari-hari ini, banyak ahli ekonomi di Tanah Air dan dunia, kutip alur-pikir Stiglitz, peraih anugerah Nobel Ekonomi tahun 2001 dan Ketua Council of Economic Advisers dari Presiden AS Bill Clinton tahun 1990-an.

Stiglitz (1996) mendukung kajian Bank Dunia (1993) berjudul The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Bank Dunia (1993:2-3), misalnya, melaporkan bahwa tahun 1960 – 1985, total faktor produksi mencapai 1/3 dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand.

Kisah pertumbuhan ekonomi Asia Timur 1980-an hingga awal 1990-an dianggap model pertumbuhan. Yakni savings tinggi, akumulasi modal SDM (sumber daya manusia), alih-teknologi, dan “intervensi” pemerintah ke sistem ekonomi pasar.

Tahun 1985-1995, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 7,1 persen per tahun yang mengentaskan angka kemiskinan dari 60 persen penduduk miskin dari total penduduk menjadi hanya 11 persen penduduk miskin (IMF, 2003). Namun, pertumbuhan ‘the East Asian Miracle’ itu menjadi paradoks.

Ketika krisis keuangan melanda zona Asia Tenggara dan Asia Timur tahun 1997-1998. Sejumlah faktor pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur ternyata tidak tahan terhadap terpaan krisis global dan tidak sustainabel.

Stiglitz (1996) luput melihat kualitas pertumbuhan ekonomi Asia Timur saat itu. Studi kasus, teori ekonomi, dan data ekonometri gagal membaca tanda krisis keuangan di Asia Tenggara dan Asia Timur akhir 1990-an. Cerita ‘Asia Miracle’ itu pun redup.

Hari-hari ini, kita saksikan krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan di berbagai negara. Dari markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City, Department of Economic and Social Affairs (DESA, 2022) pada 19 Mei 2022 merilis laporan keadaan dan prospek ekonomi dunia (World Economic Situation and Prospects/WESP).

Pertumbuhan ekonomi dunia merosot tahun ini dari perkiraan awal tahun 2022 sekitar 4 persen ke level 3,1 persen akibat operasi militer khusus Rusia di Ukraina sejak Februari 2022. Sekitar 6 juta pengungsi di Uni Eropa akibat perang di Ukraina, memicu nestapa sosial-ekonomi; harga komoditas dan pangan naik tajam di berbagai negara; tekanan inflasi terjadi di ekonomi negara-negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Australia.

Rapuh impor komoditas dan pasokan pangan khususnya melanda negara-negara Afrika.

Upaya mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global makin surut karena emisi karbondioksida naik tajam akibat lonjakan produksi bahan bakar fosil. Sekitar seperempat konsumsi energi Uni Eropa dipasok dari gas alam dan minyak asal Rusia tahun 2020.

Jedah pasokan energi fosil asal Rusia memicu syokekonomi di Uni Eropa akibat lonjakan harga energi dan tekanan inflasi. Lonjakan inflasi bakal mengurangi pendapatan riil rumah-tangga khusus di negara-negara berkembang (DESA, 2022).

Di Istana Negara, Jakarta pada 12 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara RI membahas antisipasi krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global. Pilihan kenaikan subsidi melalui APBN guna antisipasi lonjakan harga-harga energi – Pertalite, gas, listrik, Pertamax, dan lain-lain hingga Rp 502 triliun – termasuk topik pembahasan itu.

Pada Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah (Rakornas PIP) Tahun 2022, di Istana Negara pada 14 Juni 2022, Joko Widodo merilis antisipasi krisis pangan, energi, tekanan inflasi, dan degradasi ekosistem global. Separuh konsumsi energi Indonesia – industri, kendaraan, dan rumah-tangga— dipasok melalui impor. Pilihan antisipasi, menurut Joko Widodo, yakni fokus tata-kelola anggaran dan belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada efisiensi, penciptaan nilai tambah, dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com