Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lia Sundah Suntoso
Pengacara

IDEAS-Indonesia Fellow; Sekjen dan Co-Founder Amerika Bersatu untuk Indonesia; Pendiri forum World Vaccine Update; dan Presiden Asosiasi Pengacara Indonesia di Amerika Serikat

Mencari Kebenaran (pada Kasus Kematian Brigadir J)

Kompas.com - 16/08/2022, 13:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA kasus dugaan pembunuhan berencana di Duren Tiga, Jakarta Selatan, baru-baru ini, dengan tersangka pelaku antara lain Irjen Ferdy Sambo, hanya ada satu yang pasti: telah jatuh korban jiwa (yaitu Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J).

Apabila kejadian itu dianalogikan seperti sebuah pertandingan sepakbola di mana ada para pemain, penonton, pemilik kesebelasan, komentator, dan tentunya para wasit, jelas diperlukan kearifan yang spektakuler dan keyakinan bahwa keadilan adalah suatu keniscayaan. Bukan suatu proses yang tak akan pernah selesai.

Namun, apa memang benar begitu?

Berkali-kali, saya memutar ulang rekaman gol "Tangan Tuhan” Maradona pada 22 Juni 1986. Ketika itu Argentina menang melawan Inggris 2-1. Argentina lolos ke semifinal sebelum akhirnya juara setelah menang atas Jerman Barat 3-2.

Baca juga: Mengenang Gol Tangan Tuhan Maradona dan Kemarahan Inggris...

Sejarah lebih banyak bicara mengenai gol perempat final tersebut ketimbang Piala Dunia 1986 itu sendiri, dan kisahnya mewarnai dunia sepakbola sampai sekarang.

Pencarian saya di Google menunjukkan, wasit pertandingan tersebut, Ali Bin Nasser menyatakan, dia tidak melihat tangan Maradona, meskipun dia ragu. Setelah terjadi “gol”, Nasser berlari menuju hakim garis Bogdan Dochev. Namun Dochev yang berposisi lebih dekat dengan gawang, tidak memberikan tanda bahwa telah terjadi pelanggaran. Nasser pun mengesahkan gol tersebut dalam hitungan detik.

Nasser, ketika diwawancara kantor berita AFP pada momen wafatnya Maradona,  mengatakan bahwa dia yakin keputusannya tepat dan sesuai peraturan.

Lain Nasser, lain pula Dochev. Dochev berpendapat pertandingan tersebut menghancurkan hidupnya. Ia beralasan, aturan FIFA saat itu tidak memberikan kesempatan berdiskusi dengan wasit kepala.

Pelajarannya adalah bahwa posisi silent majority selalu menjadi versi yang dicatat sejarah. Benar atau tidak, taktis atau tidak, bukan pertimbangan.

Meskipun Maradona sendiri kemudian mengaku melakukan kecurangan, namanya tetap harum sebagai salah satu striker terbaik dalam sejarah sepakbola.

Masyarakat punya kebenaran versi sendiri

 

Kembali ke Duren Tiga. Menurut saya, dampak yang terburuk telanjur terjadi. Masyarakat sudah punya kebenaran versi mereka sendiri.

“Kebenaran” sesungguhnya tidak lagi relevan. Apapun yang disampaikan lembaga berwenang dalam perkembangan pengungkapan kasus itu, sudah tak lagi sejalan dengan apa yang ada di kepala masyarakat.

Terlebih lagi, dalam era post-truth, rentang waktu yang ada memberikan kesempatan masyarakat mencari sendiri informasi yang ingin diketahui. Proses diseminasi menjadi kunci kredibilitas.

Kalau dulu ada obrolan warung kopi, sekarang cukup berselancar pada gawai. Apakah informasi-informasi tersebut nantinya akan gugur sendiri seiring proses peradilan? Atau bakal bernasib sama seperti tragedi lainnya, kerusuhan ‘98, Munir, G30S/PKI, dll., dimana masyarakat percaya kebenaran yang sesungguhnya belum terungkap?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com