Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Penduduk Surga Sebagian Besar Bangsa Indonesia, kecuali ...

Kompas.com - 03/08/2022, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KABAR lelayu tentang kelaparan masih ada di Tanah Air. Tiga warga di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lany Jaya, Papua meninggal dunia dan ratusan lainnya menderita karena kelaparan akibat musibah kekeringan yang terjadi sejak awal Juni lalu.

Hingga saat ini Pemerintah Provinsi Papua terus berusaha menurunkan bantuan pangan untuk warga yang kelaparan (Kompas.id, 2 Agustus 2022).

Merujuk data Word Food Programme (WFP), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan atau kelaparan akut di tingkat global melonjak lebih dari dua kali lipat sejak 2019 atau sebelum pandemi Covid-19. Saat ini, jumlah warga yang mengalami kerawanan pangan akut mencapai 276 juta. Padahal, sebelum pandemi hanya berjumlah 135 juta orang (Cnnindonesia.com, 15 Juli 2022).

Waktu saya masih bocah dan tinggal di Malang, Jawa Timur di era 1970-an, mendiang Ibu saya kerap mengingatkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Mengambil makanan hanya secukupnya dan makan pun tidak ada pilihan selain tempe dan tempe.

Maklum sebagai keluarga tentara berpangkat rendah dan memiliki “KB” alias keluarga besar dengan enam anak serta tinggal bersama pula dengan kakek-nenek dan kerabat yang lain, kehidupan keluarga saya sangat sederhana.

Demikian pula ketika keluarga saya hijrah ke Depok, Jawa Barat di tahun 1980-an saat mendiang Ayah memilih menjadi satuan pengamanan usai pensiun dari TNI-AD, urusan makan begitu diatur “ketat” oleh Ibunda.

Setiap makanan yang tersisa, selalu dimaksimalkan oleh Ibu agar masih bisa dimakan kembali untuk esok hari atau diberikan kepada tetangga lain yang kondisi ekonominya di bawah kami. Saya sering menahan lapar saat berkuliah di Jurusan Kimia Fakutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI) di Kampus Salemba, Jakarta.

Saya tidak mendapat cukup uang saku dari Ayah yang bekerja menjadi satpam. Saya tahu diri apalagi saya juga kuliah rangkap di Fakultas Hukum UI. Puasa menjadi obat ampuh untuk menahan lapar selain tiduran di dinginnya lantai Masjid Arif Rahman Hakim Kampus UI Salemba atau Masjid Ukhuwah Islamiyah Kampus UI Depok.

Saat mendengar berita penemuan timbunan bantuan sosial sembako presiden yang berisikan beras, tepung terigu dan telur di Depok, Jawa Barat pada 29 Juli 2022 lalu, hati saya teriris-iris dibuatnya. Saya marah, kecewa dan sakit hati. Betapa tidak, paket bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo disinyalir ditimbun di tahun 2020.

Kita semua tentu ingat, era 2020 adalah awal merebaknya pandemi Covid-19 dan kondisi kehidupan masyarakat kita begitu “babak-belur” karena sulitnya mendapatkan penghasilan. Berapa banyak jiwa yang bisa makan dari timbunan paket sembako bantuan presiden andai saat itu tersalurkan dengan baik?

Begitu mudah sekali “orang-orang” hebat dan besar itu menyia-nyiakan rezeki yang harusnya dimiliki orang yang kurang pangan. Tega sekali, sekaligus biadab. Bagaimana tidak di saat banyak orang membutuhkan pangan berharga murah apalagi yang ditimbun ini adalah bantuan bahan makanan untuk kemanusian, masih saja ada yang mengingkari rasa manusiawinya.

Timbunan sembako busuk karena kadaluarsa di lahan kosong depan pergudangan perusahaan jasa pengiriman logistik JNE di Jalan Tugu Jaya, Kampung Serab, Tirtajaya, Depok itu hingga sekarang masih misteri karena semua pihak yang terlibat dengan urusan pengiriman dan penyaluran bantuan sosial presiden saling “lempar tanggungjawab” dan saling “menyalahkan” instansi yang lain.

Baca juga: Teka-teki Timbunan Sembako Bantuan Presiden dan Tanda Tanya Soal Penggantian Beras Rusak

Sudah menjadi “wajah” umum birokrasi kita, semua pihak saling ngeles dan merasa pihaknya tidak terlibat jika ada persoalan yang membetot perhatian publik. Jika ada prestasi yang viral, semua kalangan berebut memamerkan andil perjuangannya tetapi begitu ada “masalah” maka semuanya saling tuding dan ingin “cuci tangan”.

Pihak Istana membantah keterlibatan pihak swasta dalam hal penyaluran bantuan sosial. Semua bantuan sembako dari Presiden telah dikirimkan langsung ke masyarakat tanpa melalui pihak ketiga.

Bantuan sembako yang dikubur di Depok diduga “orang dalam” Istana merupakan bantuan presiden yang didistribusikan oleh Kementerian Sosial. Sementara Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy menegaskan urusan penimbunan paket bantuan sembako adalah kewenangan perusahaan JNE, tidak ada kaitannya dengan pihaknya atau Kementerian Sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com