KIPRAH Bonge, Roy, Jeje, dst serta abege SCBD (Sudirman Citayam Bojonggede Depok) tak henti dibicarakan. Sebagai bentuk perlawanan kelas sosial, bahkan dari pembicaraan kini menjadi "rebutan" kelas sosial the have.
Tengoklah mulai dari selebritis ternama hingga pejabat publik, nyaris seluruhnya ikut larut.
Dari semula menilai kampungan pemuda-pemudi Dukuh Atas ini, kemudian ikut bangga terasosiasi dengan mereka.
Dari awalnya memandang sebelah mata pada Citayam Fashion Week (CFW) ini, sekarang ingin menjadi bagian yang disorot mata publik dari ranah SCBD tersebut.
Sebagai praktisi digital, khususnya customer experience dan AI, penulis menulis sejumlah hal penting yang harus dilakukan agar kehebohan ini tak sebatas bergaung karena viral-nya.
Lebih dari itu, bisa membawa perubahan signifikan yang mampu menjadi bagian dari peningkatan ekonomi digital dan mendorong perubahan budaya yang lebih baik.
Pertama, kita harus memiliki mindset bahwa pemberontakan fashion jalanan ‘kampungan’ ala CFW ini bisa menjadi salah satu kiblat baru di dunia fashion tanah air.
Milikilah pemahaman bahwa CFW adalah embrio yang layak dimatangkan. Misalnya, dilakukan penerbitan sekaligus pengelolaan kegiatan lebih baik dan rapih, semisal diadakan tiap CFD (Car Free Day) di jalan protokol dari banyak kota-kota besar di Indonesia.
Alih-alih terus menggangu ketertiban lalu lintas di kawasan SCBD, helatan serupa digelar lebih resmi, massif, sekaligus bergaung di ruang publik yang lebih luas seperti pas CFD.
Kedua, sediakan sekaligus kuatkan ekosistem pendukung fashion. Mulai dari media, desainer, brand, photografer, content creator, dan banyak lagi. Ini penting karena sebagai bagian utama menjaga keberlangsungan kegiatan. Ingat!
Harajuku di Jepang dan atau Beijing street fashion di Tiongkok pun terbentuk mapan setelah dijaga keberlangsungannya selama bertahun-tahun, bukan sesaat.
Dan ini terjadi karena ekosistem dijaga dengan baik oleh otoritas setempat, antara lain dengan menghadirkan kolaborasi ekosistem tersebut.
Ketiga, jangan dibiarkan mengalir begitu saja, tapi juga dorong kreativitas digital milenial ke arah positif.
Secara natural, generasi muda Indonesia sudah belajar sendiri dengan hebat untuk menjadi kreator konten.
Menyeruaknya media sosial dalam setiap sendi hidup mereka telah mendorong mereka menjadi Youtuber, Selebgram bahkan termasuk produksi konten flexing (pamer atau memamerkan diri agar terkenal).