Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Silvanus Alvin
Dosen

Silvanus Alvin adalah dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan penulis buku Komunikasi Politik di Era Digital: dari Big Data, Influencer Relations & Kekuatan Selebriti, Hingga Politik Tawa.

Komika sebagai Aktor Politik Indonesia

Kompas.com - 21/06/2022, 08:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLITIK sepatutnya tidak melulu bicara tentang siapa yang berkuasa, siapa dapat apa, maupun kegaduhan yang timbul sebagai konsekuensi. Bagi saya pribadi, publik jengah bila dihadapkan dengan situasi politik yang itu-itu saja: buat pernyataan di media, viral, kemudian disanggah oleh oposisi, debat kusir, dan tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat. Padahal almarhum Professor Miriam Budiardjo (2002) dengan tegas menyatakan keberadaan politik sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Di era saat ini, angin segar di kancah perpolitikan datang dari para komika. Ya, komika yang saya maksud ini adalah individu yang diberi spotlight membawakan satu atau dua materi humor dalam durasi singkat (sekitar 7-8 menit) dan mampu mengocok perut orang yang mendengarnya.

Profesi komika sedang naik daun. Gaya hidup mereka sudah bak selebritas, dari panggung ke panggung. Meski demikian, komika bukan sekadar selebritas, atau sekadar pelawak saja. Bagi saya, mereka adalah aktor politik. Beberapa komika di Indonesia memiliki kemampuan komunikasi politik ulung. Antara lain adalah Arie Kriting, Abdur, Mamat Alkatiri, Pandji Pragiwaksono, Bintang Emon, Kiky Saputri, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Baca juga: Kiky Saputri Cerita soal Roasting Pejabat hingga Siap Diminta Roasting Presiden

Keberadaaan dari para komika ini begitu penting dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, materi humor yang dibawakan oleh komika didasari oleh fakta. Pada umumnya, komika menyajikan materi yang berasal dari pengalaman pribadi mereka atau cerminan kondisi sosial yang dialaminya. Berangkat dari fakta tersebut, para komika menguntai kata per kata secara detail dengan tujuan merangsang pendengarnya tertawa.

Kedua, publik dapat melek politik karena materi yang dibawakan secara jenaka. Materi jenaka dengan durasi singkat berbasis pada fakta umumnya dapat lebih menempel di benak publik, ketimbang pidato politik berdurasi 20 menit. Ada sebuah perasaan positif setelah mendengarnya, sehingga terekam sebagai kenangan dalam benak publik.

Ketiga, simplifikasi isu yang kompleks. Para komika kita patut dapat apresiasi tinggi karena bisa membantu membumikan isu politik rumit agar mudah dipahami masyarakat umum. Misalnya Arie Kriting, Abdur Arsyad, dan Mamat Alkatiri yang kerap menjadikan ketimpangan pembangunan maupun literasi yang terjadi di Indonesia Timur. Materi tersebut pun mendapat spotlight di media nasional melalui humor.

Keempat, menguji kedewasaan politisi. Hal ini saya intisarikan dari pemikiran almarhum Ketua Lembaga Humor Indonesia Arwah Setiawan (2020), di mana materi humor komika umumnya menyindir kelakuan politisi. Kiky Sapturi terkenal sebagai komika yang pernah me-roasting Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di salah satu acara TV swasta. Sindiran maupun satir yang dilontarkan Kiky tidak direspon berlebihan oleh Anies.

Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) di-roasting komika Kiky Saputri di acara Lapor Pak! Trans 7.DOK. Bidik layar YouTube/Trans7 Official Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) di-roasting komika Kiky Saputri di acara Lapor Pak! Trans 7.
Kelima, komika sebagai influencer politik. Terbuka peluang bagi komika menggunakan kekuatan selebritas mereka untuk mendukung sebuah ideologi politik tertentu atau kandidat tertentu agar bisa mendapat jabatan. Misalnya Pandji Pragiwaksono yang pernah menjadi jubir Anies Baswedan.

Agar pesan implisit dari materi humor yang disajikan bisa berdampak, maka komika harus memercayai yang disampaikan. Bahkan, mereka juga harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka peduli dan mempercayai hal-hal politis yang diperjuangkan. Tanpa kedua hal tersebut, ucapan komika tidak akan memiliki bobot atau hanya lelucon belaka.

Profesi dengan risiko

Profesi komika tidaklah lepas dari risiko. Seorang komika perlu membuat batas yang tegas lebih dulu sebelum melontarkan materi humor mereka. Bila menyampaikan materi di dalam sebuah acara komedi, komika bisa dibilang berada dalam “safe space” atau ruang aman. Dalam kondisi tersebut, publik yang menjadi penonton di acara tersebut sudah memiliki pola pikir bahwa mereka akan mendengar materi humor.

Bila materi yang disampaikan termasuk sebagai ‘komedi pinggir jurang’ (istilah yang dipakai dalam acara Disomasi yang ditayangkan di YouTube Dedy Corbuzier), tidak akan jadi persoalan. Publik berusaha memahami dan mengendorkan urat saraf karena tahu materi tersebut humor. Meski demikian, konteks yang disampaikan tidak akan hilang. Sindiran atas fakta dibalut jenaka tidak akan menguap begitu saja, melainkan terus menempel di ingatan.

Lebih lanjut, Bintang Emon yang menerima serangan di media sosial dari pihak tertentu akibat video sindiran atas tuntutan pelaku penyerangan Novel Baswedan. Kasus tersebut terjadi karena komika belum membuat boundary sehingga publik yang mendengarnya tidak menyesuaikan konteks.

Baca juga: Pandji Pragiwaksono Kejar Impian Jadi Komika di New York

Di masa lampau, profesi komika ini belum dengan jelas terbentuk, meski praktik-praktiknya sudah ada. Oleh karena itu, tidak ada safe space yang melindungi individu ketika melontarkan humor yang beririsan dengan politik.

Selain membuat batasan, profesi komika begitu berisiko bila dilakukan di dalam lingkungan yang non-demokratis. Sebagai contoh, pastor Joseph Muller divonis hukuman mati karena membuat humor tentara Nazi sekarat yang meminta foto Hitler. Maka dari itu, Holm (2017) dalam bukunya berjudul Humor as Politics menegaskan bahwa iklim demokrasi menjadi elemen penting agar humor dan politik bisa bersatu.

Sebagai penutup, komika di Indonesia sebaiknya tidak dipandang sebelah mata. Sebagai seniman kata mereka patut diapresiasi. Sebagai komunikator politik, komika dapat membuka pemikiran seseorang dalam kondisi yang lebih adem.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Daftar Partai Koalisi Prabowo-Gibran Usai Ditetapkan Jadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Daftar Partai Koalisi Prabowo-Gibran Usai Ditetapkan Jadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Tren
Mengapa Burung Tidak Mempunyai Gigi? Berikut Penjelasannya Menurut Sains

Mengapa Burung Tidak Mempunyai Gigi? Berikut Penjelasannya Menurut Sains

Tren
Pidato Prabowo Usai Ditetapkan Menjadi Presiden Terpilih 2024-2029

Pidato Prabowo Usai Ditetapkan Menjadi Presiden Terpilih 2024-2029

Tren
Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Kapan Prabowo-Gibran Dilantik?

Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Kapan Prabowo-Gibran Dilantik?

Tren
Kepada Anies dan Muhaimin, Prabowo: Saya Pernah di Posisi Anda

Kepada Anies dan Muhaimin, Prabowo: Saya Pernah di Posisi Anda

Tren
Mengenal Hutan Hujan dan Mengapa Keberadaannya Sangat Penting bagi Masyarakat Global

Mengenal Hutan Hujan dan Mengapa Keberadaannya Sangat Penting bagi Masyarakat Global

Tren
Rekrutmen Bersama BUMN 2024, Peserta Hanya Bisa Unduh Safe Exam Browser via Laptop

Rekrutmen Bersama BUMN 2024, Peserta Hanya Bisa Unduh Safe Exam Browser via Laptop

Tren
Jejak Prabowo di Pilpres, Akhirnya Jadi Presiden Usai 3 Kali Kalah

Jejak Prabowo di Pilpres, Akhirnya Jadi Presiden Usai 3 Kali Kalah

Tren
Wacana Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan, Akankah Tarif Pesawat Akan Naik?

Wacana Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan, Akankah Tarif Pesawat Akan Naik?

Tren
Prabowo-Gibran Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Prabowo-Gibran Resmi Ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Tren
Sejarah Olimpiade yang Saat Ini Jadi Kompetisi Olahraga Terbesar di Dunia

Sejarah Olimpiade yang Saat Ini Jadi Kompetisi Olahraga Terbesar di Dunia

Tren
Viral, Video Perempuan Paksa Minta Uang ke Warga, Ini Kata Sosiolog

Viral, Video Perempuan Paksa Minta Uang ke Warga, Ini Kata Sosiolog

Tren
Profil Chandrika Chika, Selebgram yang Terjerat Kasus Narkoba

Profil Chandrika Chika, Selebgram yang Terjerat Kasus Narkoba

Tren
Siomai dan Pempek Jadi Jajanan Kaki Lima Terbaik Dunia 2024

Siomai dan Pempek Jadi Jajanan Kaki Lima Terbaik Dunia 2024

Tren
Mengenal Apa Itu Lemak, Berikut Manfaat dan Pengaruh Negatifnya

Mengenal Apa Itu Lemak, Berikut Manfaat dan Pengaruh Negatifnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com