Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Memahami Kekuasaan dalam Pemikiran Michel Foucault

Kompas.com - 20/06/2022, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEKUASAAN tidak dapat dilepaskan dengan manusia karena sadar atau tidak, manusia pada dasarnya menurut Friedrich Nietzsche memang memiliki hasrat untuk berkuasa (the will to power) dalam eksistensinya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘kekuasaan’ memiliki arti ‘kuasa untuk mengurus, memerintah dan sebagainya’. Dalam tulisan ini kita akan memahami konsep kekuasaan dari perspektif kritis dan lebih spesifik. Secara khusus, kita akan berkenalan dengan salah satu pemikir asal Poitiers, Prancis yang banyak membahas tentang konsep dan isu-isu kekuasaan, yaitu Michel Foucault (1926-1984). 

Foucault seorang filsuf, sejarahwan, sosiolog, dan pemikir post-strukturalis yang dikenal dengan teori wacananya. Foucault (Jones, Pip et.al., 2016) banyak menuliskan pemikiran kritisnya melalui karya-karyanya antara lain: Madness of Civilization (1965), The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences (1966), The Archaeology of Knowledge and The Discourse of Language (1969), The Birth of Clinic: An Archaeology of Medical Perception (1975), Discipline and Punish: The Birth of Prison (1979), dan The History of Sexuality Vol. 1 & 2 (1980-5).

Baca juga: Mengapa Kekuasaan Pemerintah Harus DIbatasi?

Sepanjang karir intelektualnya, Foucault menaruh minat dan ketertarikan akademik terhadap persoalan kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan sejarah, dan pemikirannya pun telah memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai disiplin ilmu sosial-budaya termasuk sosiologi, cultural studies, dan antropologi. Bagi Foucault, sejarah merupakan situs penting untuk melihat retakan zaman (diskontinuitas), menemukan episteme (rezim pengetahuan) yang berkuasa di periode waktu tertentu dan bagaimana kekuasaan tersebut beroperasi.

Tidak hanya itu, dalam mengungkap kedok kekuasaan, dia juga banyak memusatkan perhatiannya pada tema-tema tertentu seperti kegilaan, seksualitas, disiplin yang dipahaminya sebagai wilayah beroperasinya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.

Foucault dan konsep kekuasaan

Untuk memahami kekuasaan, Foucault tidak menyarankan kita untuk mengajukan pertanyaan ‘Apa itu kekuasaan?’ dan ‘Siapa yang memilikinya?’, tetapi dengan memberikan pertanyaan ‘Bagaimana kekuasaan beroperasi?’ dan ‘Melalui cara apa kekuasaan itu dioperasikan?’

Pemaknaan Foucault tentang kekuasaan berbeda dengan tradisi Marxian dan Weberian yang melihat kekuasaan sebagai privilege dan ‘properti’ yang hanya dimiliki oleh segelintir orang tertentu untuk memdominasi dengan memanipulasi ideologi. Baginya, kekuasaan juga tidak selalu beroperasi secara negatif melalui tindakan yang koersif dan represif dari suatu institusi pemegang kekuasaan, termasuk negara.

Uniknya, Foucault berargumen bahwa sebenarnya kekuasaan bisa bersifat tidak stabil, positif, produktif, dan menyebar (omnipresent) seperti jaringan yang memiliki ruang lingkup strategis di setiap relasi sosial, contohnya dalam hubungan orangtua dan anak, suami-istri, guru dan murid, pertemanan, hubungan kerja, dan lain-lain.

Relasi-relasi sosial tersebut selalu timpang, seperti orangtua yang kerap melarang anaknya untuk tidak keluar malam hari, seorang guru yang meminta anak didiknya untuk mengerjakan soal ujian, dan seorang atasan yang meminta karyawannya untuk menuliskan laporan.

Namun kita tidak bisa secara terburu-buru mengatakan bahwa kekuasaan selalu bersifat negatif, karena seorang ayah yang melarang keras anak perempuannya keluar malam supaya terhindar dari kriminalitas tidak bisa dikatakan sebagai tindakan buruk dan memaksa. Demikian juga seorang guru yang meminta anak didiknya mengerjakan soal supaya lulus ujian dan mendapatkan nilai dapat dimaknai sebagai bentuk relasi kuasa yang bersifat positif, artinya kekuasaan itu bersifat relatif, bisa ‘baik’ dan ‘buruk’.

Baca juga: Kaum Intelektual, Kekuasaan dan Harapan Perubahan

 

Foucault juga berargumen bahwa kekuasaan secara evolutif mengalami transformasi, artinya jika dulu seorang raja melakukan kontrol sosial dan menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan cara-cara kekerasan dan represi (sovereign power) melalui kepatuhan hukum, sedangkan dalam konteks masyarakat modern hal tersebut sudah mulai ditinggalkan secara perlahan di banyak negara. Cara tersebut digantikan dengan moda disciplinary power atau normalisasi tindakan yang dirancang diinternalisasi dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif tubuh serta menempatkan subjek sebagai efek dan kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power).

Misalnya, dalam konsep panopticon Foucault, masyarakat modern akan mengenakan helm pada saat berkendara karena aturan tersebut dibuat negara, berjalannya kekuasaan tanpa tekanan adalah ketika pengendara merasa bersalah karena tidak memakai helm dan orang lain membantu negara menegakkan aturan dengan cara menegur pengendara yang tidak menggunakan helm.

Kekuasaan dan pengetahuan

Salah satu pemikiran penting Foucault terletak pada bagaimana ia mencurigai pengetahuan sebagai bentuk atau wujud kekuasaan, kekuasaan selalu ditopang oleh pengetahuan yang menjelma menjadi formasi wacana. Kemudian, wacana tersebutlah yang diklaim Foucault sebagai wajah kekuasaan, contohnya wacana ilmiah tentang psikiatri melahirkan yang ‘normal’ dan ‘gila’, wacana kecantikan melahirkan salon-salon kecantikan yang mengidealisasi bentuk tubuh tertentu, dan wacana seksualitas melahirkan heteroseksualitas versus homoseksualtas.

Mirisnya, dampak vital dari formasi wacana melahirkan apa yang disebut sebagai ‘benar’ dan ‘salah’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, pusat dan marginalitas yang kesemuanya itu padahal adalah efek atau kemungkinan-kemungkinan dari suatu wacana tertentu yang bersifat temporer.

Menurutnya, apa yang selama ini diklaim sebagai ‘kebenaran’ ilmiah yang objektif perlu dikoreksi kembali secara kritis karena boleh jadi, apa yang dianggap sebagai keilmiahan tersebut justru malah tidak bebas nilai (Haryatmoko, 2020).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

Tren
Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Tren
PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

Tren
UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

Tren
Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Tren
Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Tren
Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Tren
Warganet Kaitkan Kenaikan UKT Unsoed dengan Peralihan Menuju PTN-BH, Ini Penjelasan Kampus

Warganet Kaitkan Kenaikan UKT Unsoed dengan Peralihan Menuju PTN-BH, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Israel Diduga Gunakan WhatsApp untuk Targetkan Serangan ke Palestina

Israel Diduga Gunakan WhatsApp untuk Targetkan Serangan ke Palestina

Tren
Apa Itu Asuransi? Berikut Cara Kerja dan Manfaatnya

Apa Itu Asuransi? Berikut Cara Kerja dan Manfaatnya

Tren
'Streaming' Situs Ilegal Bisa Kena Retas, Curi Data, dan Isi Rekening

"Streaming" Situs Ilegal Bisa Kena Retas, Curi Data, dan Isi Rekening

Tren
Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo sebagai Presiden Terpilih, Menyoroti Niat Menyatukan Elite Politik

Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo sebagai Presiden Terpilih, Menyoroti Niat Menyatukan Elite Politik

Tren
Jokowi Batal Hadiri Pemberian Satyalancana untuk Gibran dan Bobby, Ini Penyebabnya

Jokowi Batal Hadiri Pemberian Satyalancana untuk Gibran dan Bobby, Ini Penyebabnya

Tren
Berapa Jarak Ideal Jalan Kaki untuk Menurunkan Berat Badan?

Berapa Jarak Ideal Jalan Kaki untuk Menurunkan Berat Badan?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com