Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Elon Musk, Kepemimpinan Global, dan Dampaknya bagi Indonesia

Kompas.com - 01/05/2022, 16:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Global Leadership is the leadership of individuals who influence and bring about significant positive changes in firms, organizations, and communities by facilitating the appropriate level of trust, organizational structures and processes, and involving multiple stakeholders, resources, cultures under the various conditions of temporal, geographical and cultural complexity." - Leadership Convergence and Divergence in the Era of Globalization

KITA tidak bisa menyangkal bahwa Elon Musk saat ini menjadi trend maker bagi dunia. Akuisisinya terhadap Twitter seharga 44 miliar dollar AS (setara Rp 638 triliun) akan membawa perubahan yang cukup signifikan bagi manajemen Twitter dan lebih dari 300 juta penggunanya. Ia rela mencairkan saham Tesla senilai Rp 122 triliun untuk mendapatkan Twitter menjadi miliknya.

Musk berkata bahwa dirinya akan membuat Twitter menjadi tempat di mana masyarakat dapat berbicara dengan bebas, dengan seminimal mungkin pembatasan. Berdasarkan polling yang dibuat Musk di Twitter, 82 persen responden mengatakan bahwa Twitter tidak mengedepankan freedom of speech, sehingga polling ini menjadi justifikasi yang kuat untuk mengembalikan Twitter ke marwahnya.

Baca juga: Beli Twitter Seharga Rp 638 Triliun, Seberapa Kaya Elon Musk?

Akuisisi Musk terhadap Twitter sebenarnya mengandung satu makna yang tersirat, yaitu bagaimana langkah Musk tidak hanya mengubah Twitter, tetapi juga masyarakat global. Kita melihat bagaimana dunia sangat memperhatikan Musk ketika dia berencana untuk membeli Twitter; setiap langkah dan ucapannya menjadi berarti. Musk bukan hanya sekadar seorang gazzilioner, dia menjelma sebagai sosok pemimpin di kancah global.

Yang membuat Musk berbeda

Satu hal yang mungkin banyak orang sepakat adalah apa yang dilakukan Musk terhadap dunia global. Dia berpengaruh besar terhadap masyarakat global. Ketika dia dinobatkan sebagai Person of the Year versi majalah Time 2021, tidak banyak yang memperdebatkan. Salah satu kekuatannya adalah bagaimana dia membawa isu yang tidak banyak dibicarakan orang, menjadi salah satu visinya dalam membuat perusahaan.

Contohnya adalah SpaceX. Tidak banyak orang yang sangat ambisius ingin menciptakan koloni di planet ruang angkasa. Hanya Musk satu-satunya sosok yang berani. Pertimbangannya berdasarkan perspektif krisis eksistensial, di mana dia membuat perumpamaan apabila Bumi tidak layak lagi dihuni, akan berlabuh ke mana umat manusia.

Sampai saat ini, belum ada planet yang memiliki kondisi yang layak kehidupan seperti di Bumi. Kita masih dalam tahap pencarian planet yang layak huni. Apabila Bumi menjadi unhabitable, umat manusia tidak memiliki planet lainnya sebagai alternatif.

Oleh karena itu, seseorang harus memulainya, mencari kemungkinan-kemungkinan planet yang bisa dibuat koloni. Berangkat dari asumsi ini, Musk mengembangkan SpaceX agar bisa membuat koloni di planet Mars.

Ilustrasi Elon Musk beli Twitter dan twit CEO Twitter, Parag Agrawal.Kompas.com/Wahyunanda Kusuma Ilustrasi Elon Musk beli Twitter dan twit CEO Twitter, Parag Agrawal.
Tidak hanya visi tentang krisis eksistensialnya, Musk juga sosok yang inovatif. Berbicara inovatif, ada dua sifat inovasi menurut Deloitte ketika mempelajari inovasi di tahun 202: postur defensif dan postur ofensif. Postur defensif berfokus pada mempertahankan legacy; sedangkan postur ofensif ingin mentransformasi organisasinya.

Menurut saya, Musk merupakan jenis yang kedua, di mana dia mengejar sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan apa yang dunia pikirkan. Singkatnya, Musk menantang status quo untuk menghasilkan hal yang inovatif.

Jika melihat kualitas dari seorang pemimpin yang inovatif, beberapa kualitas yang harus dimiliki adalah fleksibilitas dan kelincahannya. Oleh karena itu, untuk meraih visinya, dia harus agile dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Visinya tidak mungkin terealisasi jika Musk tidak memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi. Riset dari IBM 2021 mengungkapkan bahwa 56 persen CEO menekankan pada kelincahan dan fleksibilitas operasional.

Selain itu, Musk memiliki segalanya untuk membentuk masa depan dunia dan menjadi pionir. Kekayaan yang luar biasa, yang membuatnya bisa berbuat banyak dan mungkin mengakuisisi perusahaan lain, atau membuat perusahaan baru. Musk juga punya perusahaan yang bergerak di isu futuristik.

Bisa kita lihat bagaimana perusahaan-perusahaan yang dibangun Musk adalah perwujudan terhadap masa depan dunia. Neuralink, SolarCity (yang diakuisisi Musk pada tahun 2016), SpaceX, Tesla, dan The Boring Company bergerak di bidang-bidang yang akan membentuk dunia ke depannya, seperti energi terbarukan, kecerdasan buatan, teknologi ruang angkasa, transportasi masa depan, dan bioteknologi.

Kemudian dia menambahkan Twitter, salah satu media sosial terpopuler yang sering membentuk opini masyarakat. Artinya, Musk punya tools yang dibutuhkan untuk membentuk masa depan global.

Fakta-fakta ini sedikit banyak membuat kita mengerti bagaimana pengaruh Musk di kancah global. Seorang investor, pengusaha, dan inovator yang memimpin percakapan global. Fakta lainnya yang tidak boleh kita kesampingkan adalah Musk saat ini orang terkaya di dunia. Dengan kekayaannya, dia bisa memengaruhi dunia global, mengombinasikan dengan visi futuristiknya. Tidak berlebihan jika Musk akan memimpin dunia menuju masa depan yang lebih sustainable dan hijau.

Baca juga: Usai Beli Twitter, Elon Musk Malah Jual Saham Tesla Senilai Rp 58 Triliun

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com