SETELAH mengurai sebagian benang kusut yang membelit selama ratusan tahun, kini mulai dirasa mendesak untuk mengikhtiarkan solusi.
Kalau tidak, maka manusia hanya akan berputar-putar di persoalan yang sama sambil terus mendaur ulang cara-cara lama sebagai solusinya.
Di kalangan umat Islam, terdapat sejumlah masail fiqhiyah --masalah-masalah ortodoksi. Nilai-nilai ini dikompilasi dan dijalankan dalam mengelola kemaslahatan umat.
Menjadi problem, karena sementara umat belum siap meninggalkan cara pandang lama, sedang problematika sosial berkejar-kejaran tak pernah putus.
Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Khilafah Utsmaniyah
Satu masalah belum tuntas diurai, sudah muncul problem baru yang lebih complicated. Belum sepenuhnya kita bisa membuktikan keunggulan suatu pendekatan, sudah disusul dengan tantangan baru.
Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari kita yang menganggap itu bukan "masalahnya".
Bahkan bagi sementara kalangan, tafsir atas ortodoksi tertentu harus dipertahankan, dilestarikan, dan dijaga sustainabilitasnya. Jangan sampai tersentuh perubahan.
Padahal ia bukan kitab suci. Ia kumpulan pendekatan ijtihadiyah, sehingga saat problem berubah, ia bisa diadaptasi untuk mendapat penyesuaian konsep ijtihadiyahnya yang lebih tepat.
Ia mesti diadaptasi sesuai dinamika. Tapi, inilah yang jadi marji' pemerintahan "Islam" mengelola umat selama ini.
Mari duduk bersama. Jeda sebentar. Merenungi, mengurai dan membuat kesimpulan. Akuilah! Ada sejumlah pecahan ortodoksi yang dayanya menurun dalam menyerap dan menyediakan solusi bagi masalah umat di awal millenium ini.
Dalam kadar tertentu, ia malah jadi faktor yang potensial menghambat pembagunan peradaban yang lebih cepat, pascamengendapnya identitas agama. Di awal abad kedua khidmah NU, norma belum berubah.
Satu hal yang paling dominan mengisi memori terdalam umat Islam adalah dalil-dalil teks tentang kafir dan takfir.
Dua diktum ini bukan saja menjadi benih lahirnya gerakan radikal yang destruktif di akhir masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, tapi juga menjelma landasan teologis paling tua dalam sejarah umat hingga 15 abad kemudian.
Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Nasionalisme Abad 21
Semua konflik, sering karena pengamalan eksesif atas dua diktum itu dalam dinamika sosial.
Begitu dicap kafir; selesai urusan. Penggunaan dalil ini dengah mudah kita temukan nash-nya dalam kitab-kitab klasik.