POLA kerja hybrid akan menjadi rutinitas sehari-hari di tempat kerja karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan efektivitasnya teruji.
Studi dari PwC 2021 menemukan bahwa 83 persen karyawan mengakui perusahaan sukses menerapkan kerja hybrid, sementara 74 persen lainnya ingin mematenkan sistem itu.
Dengan kata lain, pola kerja hybrid menjadi keniscayaan di tengah proses digitalisasi ini.
Ini menjadi tren yang perlu pemimpin masa kini amati dan pikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan para karyawan yang terpencar di berbagai penjuru.
Bicara tentang pekerjaan, tanpa komunikasi yang efektif, tentu tidak akan menghasilkan output yang maksimal.
Misalnya, ada satu karyawan yang tidak paham tentang instruksi yang diberikan oleh pimpinan di suatu perusahaan.
Kemudian ketika melakukan tugasnya, dia melakukan beberapa kesalahan meninterpretasikan arahan, di mana ini bisa menjadi hambatan bagi tercipta masalah berikutnya, persis efek domino.
Karena itu, pemimpin perlu merumuskan bagaimana caranya untuk berkomunikasi efektif dan pesannya tersampaikan dengan jelas.
Komunikasi kepemimpinan sebagai kunci
Komunikasi kepemimpinan menjadi hal penting untuk ditingkatkan, mengingat pola kerja saat pandemi sudah hybrid.
Komunikasi kepemimpinan lebih kepada bagaimana seorang pemimpin mengomunikasikan visi dan misi, serta budaya dan nilai-nilai inti yang dianut perusahaan.
Komunikasi kepemimpinan menjadi sangat penting karena basis untuk membangun rasa kepercayaan antara stakeholder yang ada di tempat kerja, baik kepada karyawan, mitra kerja, dan shareholder.
Komunikasi kepemimpinan menjadi kunci pembuka pelbagai miskoordinasi, misinterpretasi, miskomunikasi di dalam perusahaan.
Sulit rasanya apabila sosok pimpinan perusahaan Anda saat ini tidak memiliki keterampilan komunikasi kepemimpinan yang mumpuni.
Komunikasi kepemimpinan yang efektif tidak hanya dalam bentuk komunikasi verbal. Menurut Zulch (2014), komunikasi kepemimpinan meliputi karakter yang meliputi sikap, perilaku, dan kepribadian.
Sehingga, komunikasi di perusahaan akan berjalan lancar apabila pemimpin menggunakan komunikasi verbal dan non-verbal.
Konsekuensinya, apabila pemimpin mampu menyampaikan visi, misi, nilai dan budaya dengan baik, pemimpin dapat menavigasikan berbagai perubahan yang terjadi dan menghasilkan kebijakan efektif, serta karyawan akan merasa lebih ikut serta atau terlibat dalam pekerjaannya.
Apabila kita melihat dampak pemimpin terhadap karyawannya, Gallup pada tahun 2013 lalu menemukan bahwa manajer berkontribusi sebesar 70 persen terhadap kebahagiaan dan motivasi karyawan.
Artinya, komunikasi kepemimpinan memegang peran penting untuk menjalin hubungan antara karyawan dan pemimpin.
Selain itu, menurut States of Global Workplace yang dikeluarkan Gallup tahun 2021 lalu, tercatat hanya ada 20 persen karyawan yang engage dengan pekerjaannya.
Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena engage atau tidaknya mereka akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan hubungan mereka di perusahaan.
Berarti, 80 persen karyawan hanya bekerja atas dasar kewajiban kepada perusahaan dan keluarga.
Di sini kita melihat bahwa komunikasi kepemimpinan dapat menghadirkan empati dan mempertajam interaksi.
Perasaan yang dialami karyawan bisa jadi timbul karena kurangnya pemimpin untuk mengkomunikasikan tujuan perusahaan.
Hal ini divalidasi oleh hasil riset Ving, perusahaan konsultan kepemimpinan tahun 2014. Mereka menemukan bahwa 71 persen karyawan merasa pemimpinnya tidak menghabiskan waktu yang proporsional untuk menjelaskan nilai dan tujuan dari perusahaan.
Konsekuensinya adalah, para karyawan tidak terlalu terhubung dengan tujuan perusahaan sehingga mereka bekerja hanya untuk mendapatkan hak mereka.
Alasan di atas agaknya cukup logis untuk menjustifikasi mengapa komunikasi kepemimpinan sangat amat penting di setiap lini korporasi saat ini.
Pemimpin perlu bekerja lebih keras dan konsisten untuk membuat budaya komunikasi yang luwes dan terbuka, mulai dari jajaran tertinggi hingga terendah.
Terlebih, pandemi mengantarkan kita lebih cepat mampir di era hybrid work, di mana kombinasi pola kerja daring dan luring memunculkan tantangan tersendiri.
Dua tantangan baru
Ada dua tantangan yang muncul ketika bekerja hybrid. Pertama adalah soal kesehatan mental. Kedua adalah persoalan ikatan sosial.
Dua tahun terakhir, pandemi menguji kapasitas para pemimpin untuk beradaptasi dari cara kerja luring ke daring.