Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebagai Negara Pendapatan Menengah ke Atas, Mengapa Masih Banyak Kemiskinan di Indonesia?

Kompas.com - 25/02/2022, 12:30 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia secara resmi telah masuk dalam daftar negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper middle income country.

Ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam sesi bincang virtual, Rabu (23/2/2022).

"Bangsa Indonesia sedang dipaksa bergegas, karena kita pada hari ini sudah resmi jadi negara kelas menengah dunia,"

Namun banyak yang menyebut bahwa kualitas hidup masyarakatnya, terutama dari segi ekonomi, tidak mencerminkan kondisi tersebut. Sehingga posisi Indonesia yang masuk dalam kelompok negara dengan penerimaan menengah ke atas ini dipertanyakan.

Lalu apa yang bisa dijelaskan dari ketimpangan antara status negara dengan pendapatan menengah ke atas dengan kemakmuran yang tidak dirasakan merata oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ini?

Baca juga: Kebijakan Ekspor Batu Bara: Nasionalisme Ekonomi Vs Target Energi Nol Bersih

Banyak ketimpangan ekonomi

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut ini semua terjadi karena tingginya angka ketimpangan ekonomi yang ada di Indonesia.

"Karena ada masalah ketimpangan yang sifatnya struktural maupun ketimpangan yang disebabkan oleh pandemi," kata Bhima kepada Kompas.com, Jumat (25/2/2022).

Ketimpangan struktural artinya ketimpangan yang diakibatkan oleh faktor pendukung yang sifatnya kompleks. Mulai dari ketimpangan akses pendidikan, kesehatan, sanitasi, pekerjaan layak, dan sebagainya.

"Ini artinya ada masalah struktural, sehingga mereka merasa bahwa berada di bawah rata-rata pendapatan Rp 58 juta per tahun," ujar Bhima.

Angka Rp 58 juta merupakan Pendapatan Nasional Bruto (PDB) atau Gross National Income (GNI) yang dimiliki Indonesia untuk saat ini atau rata-rata pendapatan warga negara Indonesia.

Sementara ketimpangan yang lain, yakni ketimpangan akibat masa pandemi.

"Hanya sebagian kecil atau kurang dari 1 persen total pekerja yang bekerja di sektor informal, atau bekerja yang sifatnya adalah manual, bisa melakukan kerja di rumah. Jadi 99 persen merasa sangat terganggu, karena pandemi memaksa mereka ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kemudian tidak diupah, tidak diberikan uang tunggu selama dirumahkan," papar Bhima.

"Situasi ini terjadi pada 21 juta orang menurut data BPS, yang terdampak selama masa pandemi," imbuhnya.

Sementara itu, bagi kalangan menengah ke atas, pandemi mungkin tidak begitu berdampak. Mereka masih bisa menjalankan pekerjaannya dari rumah dan tidak terkena PHK atau kesulitan lainnya.

Mereka yang memiliki pendapatan di atas rata-rata juga masih dapat menyisihkan uang yang sebelumnya digunakan untuk kebutuhan jalan-jalan, untuk diinvestasikan di masa pandemi ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com