UPAYA penghentian konsumsi rokok secara komprehensif masih sulit dilakukan oleh sejumlah negara. Padahal, negara-negara tersebut telah mengikuti rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengurangi prevalensi perokok. Namun tetap tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.
Faktanya, jumlah perokok masih banyak dan kebiasaan merokok masih menjadi bagian dari budaya masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan, WHO memprediksi prevalensi perokok secara global tidak akan banyak berubah hingga tahun 2025.
Rokok diketahui dapat meningkatkan risiko kesehatan. Kondisi ini mendorong pemerintah di sejumlah negara melakukan upaya pengendalian tembakau (tobacco control) demi menekan prevalensi perokok.
Baca juga: 7 Cara Berhenti Merokok Tanpa Terasa Menyiksa, Sudah Coba?
Meskipun demikian, tidak semua negara gagal menurunkan prevalensi perokok. Sebagai contoh, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru berhasil menurunkan angka perokoknya dalam beberapa tahun terakhir melalui strategi baru dalam pengendalian tembakau.
Upaya yang dilakukan di ketiga negara tersebut adalah dengan mengadopsi pendekatan pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction). Konsep pengurangan bahaya tembakau sekarang ini telah menjadi alternatif dalam menanggulangi permasalahan merokok (O'Leary, R dan Polosa, R, 2020).
Konsep itu mengedepankan pemanfaatan produk tembakau alternatif sebagai pilihan bagi para perokok yang kesulitan untuk berhenti merokok sepenuhnya. Karena itu, pemerintah di sejumlah negara di dunia lantas merumuskan regulasi mengenai produk tembakau alternatif.
Pemerintah Inggris, misalnya, melalui serangkaian kajian ilmiah membuktikan bahwa produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau dipanaskan dapat berfungsi sebagai alat bantu berhenti merokok (smoking cessation tools). Fakta tersebut didorong oleh penelitian Public Health England (PHE) yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan 90-95 persen lebih rendah daripada rokok (Rachel Brown, et. al., 2021).
Akan tetapi, perlu diingat bahwa produk tembakau alternatif tidak sepenuhnya aman atau tanpa risiko, tetapi jauh lebih rendah risikonya dibandingkan dengan rokok.
Data terakhir menyebut Inggris adalah negara dengan tingkat prevalensi perokok paling rendah kedua di Eropa. Dalam implementasinya, Inggris sangat ketat terhadap usia pengguna, yang sangat dibatasi berusia 18 tahun ke atas sehingga produk ini tidak ditujukan untuk anak-anak.
Pemerintah Inggris menyusun regulasi tembakau dan produk terkait dengan mengadopsi The EU Tobacco Products Directive (2014/40/EU) pada 20 Mei 2016. Dalam peraturan itu diatur bahwa produsen harus menyerahkan informasi tentang produk ke Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) melalui portal EU-CEG.
Setiap paket unit isi ulang dan wadah isi ulang produk rokok elektrik juga wajib mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk tulisan yang terdiri dari teks berikut: “Produk ini mengandung nikotin yang merupakan zat yang menyebabkan ketergantungan”.
Diatur pula pembatasan iklan dan sponsor rokok elektrik di mana iklan diizinkan di koran, tabloid, majalah, dan informasi layanan masyarakat.
Baca juga: Larangan Merokok di Selandia Baru Dinilai Mengabaikan Tren Vape
Tidak hanya di Inggris, pada November 2018, Kementerian Kesehatan Selandia Baru secara terbuka menyatakan dukungannya agar para perokok beralih ke produk tembakau alternatif guna mendukung tercapainya program Selandia Baru Bebas Asap 2025 (Smoke Free 2025) yang telah dicanangkan sejak 2011.
Pemerintah Selandia Baru juga mengatur produk tembakau alternatif dalam Smoke-Free Environments and Regulated Products Amendment Act 2020. Berkat aturan ini, Selandia Baru dikenal sebagai negara dengan pengaturan produk tembakau alternatif paling maju sehingga banyak dijadikan acuan perumusan regulasi di negara-negara lain.
Salah satu aspek penting yang diatur oleh Pemerintah Selandia Baru adalah larangan dan pengawasan penjualan produk tembakau alternatif kepada anak berusia di bawah 18 tahun.